Jakarta, 1927.
Suhu politik memanas lagi. Anak-anak muda menggeliat. Kembali bergiat.
Penggagas Kongres Pemuda I: Moh. Jamin, Tabrani, Soegondo Djojopuspito merencanakan Kongres Pemuda Indonesia II. Soepratman, yang kala itu bekerja sebagai wartawan harian terkemuka Sin Po, sering menemui mereka di markas Indonesische Clubgebouw, di Jalan Kramat Raya 106.
Soepratman memutuskan pindah ke Jakarta dari Makassar 3 tahun sebelumnya setelah menyadari bahwa pusat perlawanan ada di Jawa. Memilih menjadi wartawan agar pergaulannya dengan pemuda-pemudi nasionalis kian luas. Ia pun ikut menyebarkan ide-ide kemerdekaan dengan menjadi agen sejumlah majalah pergerakan seperti Persatoean Indonesia, Soeloeh Indonesia Moeda, Soeloeh Rakjat Indonesia dan Indonesia Raja.
Suatu hari, mereka berbincang di atas rerumputan di depan Stasiun Gambir. Tabrani mengatakan pada Soegondo Djojopuspito bahwa Soepratman sudah menciptakan lagu, yang dikatakannya, merupakan lagu kebangsaan. Meskipun belum pernah mendengar, namun semuanya berjanji memberi kesempatan pada Soepratman memainkan lagu tersebut dalam Kongres Pemuda II.

Foto: Pinky Brotodiningrat
Jakarta, 28 Oktober 1928.
Malam menjelang penutupan Kongres Pemuda II.
Soepratman tiba lebih awal. Berpakaian rapi dalam balutan stelan jas putih serta sepatu putih mengkilap dan peci hitam. Menggenggam erat biolanya.
Ia membagikan lirik lagu Indonesia Raya yang ditulisnya sendiri di atas kertas pada semua peserta, yang sebagian besar adalah juga anggota pandu (pramuka). Mereka terlihat senang karena ada kalimat โjadi pandu ibukuโ dalam lagu, sekaligus cemas, karena keseluruhan syairnya dapat memunculkan โkonflik yang tidak perluโ dengan pemerintah Belanda.
Setelah berembuk, akhirnya disepakati bahwa Soepratman tetap bisa membawakannya.
Secara instrumental saja.
Hasil konvensi selesai dibacakan. Para penggagas sudah berpidato. Beberapa saat sebelum Kongres Pemuda II resmi ditutup, Soegondo Djojopuspito mempersilakan Soepratman maju ke depan untuk mempersembahkan Ode gubahannya.
Pemuda berusia 25 tahun itu berdiri di depan. Menggesek biolanya. Menggaungkan nada demi nada.
Semua mengikuti dalam hening. Dalam kekhidmatan yang khusyuk.
Secara musikal, Soepratman memberi warna berbeda pada lagunya. Di 2 quatrain pertama, yang mendeskripsikan Indonesia sebagai tanah air pujaan dan kebanggaan, nada-nadanya terdengar datar dan agung. Memasuki enam baris berikutnya, yaitu bagian puji syukur, doa serta janji, nada-nadanya berubah takzim dan mendayu kalbu. Pada quatrain ulangan (reffrain), nada-nadanya dilonjakkan menjadi dinamis, bergemuruh dan menggelegar.
Tak ayal, tepuk tangan membahana selepas Soepratman menyelesaikan lagunya.
Saat itu juga, secara aklamasi, Indonesia Raya, diterima dan disetujui sebagai Lagu Kebangsaan.
Lahir di hari pasaran Jawa, Wage, 9 Maret 1903, sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara, Soepratman mendapat tambahan nama Rudolf, karena kecemerlangannya berlakon sebagai Rudolf dalam sebuah pentas drama. Ketrampilannya bermusik diperoleh dari kakak iparnya, Willem Van Eldik. Sejak itu, ia menjadikan musik sebagai caranya berbahasa dalam merefleksikan nasionalismenya. Dengan biolanya, Soepratman menghasilkan Mars KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), Ibu Kita Kartini dan Di Timur Matahari.
Indonesia Raya diciptakan Soepratman tahun 1924.
Foto: Museum WR Soepratman
Jakarta, 1929.
Setahun setelah Kongres Pemuda II. Soepratman bertemu Soekarno, yang kelak menjadi Presiden. Soepratman menyerahkan teks lagu Indonesia Raya. Soekarno membacanya dan Indonesia Raya pun berkumandang kembali pada Kongres PNI kedua di bulan Desember 1929. Kali ini, peserta kongres berdiri dan ikut menyanyikannya mengikuti iringan biola Soepratman. Kongres yang diketuai Soekarno ini juga menerima, menyetujui dan kemudian menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
Betul-betul proses perumusan Lagu Kebangsaan yang cepat dan mulus.
Dari situ, dengan cepat teks lagu Indonesia Raya tersebar luas, sampai ke pelosok Nusantara. Indonesia Raya yang susunan liriknya, dalam kesusasteraan, termasuk sebuah Soneta (sajak 14 baris) menjadi seloka sakti yang menyatukan dan merekatkan.
Membuat Belanda, yang selalu ingin memecah-belah, tiba-tiba gerah dan menyadari betapa besarnya pengaruh lagu itu bagi rakyat Indonesia. Lagu yang menyulut api perjuangan dan menjadi cambuk semangat bagi terwujudnya kemerdekaan.
Kata โmoeliaโ di bait reffrain bahkan diganti dengan โmerdekaโ. Sebuah pekik yang teramat sensitif di telinga Belanda.
1930.
Indonesia Raya dilarang untuk diperdengarkan di manapun dan dalam kesempatan apapun. Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff beralasan, โUntuk apa ada Lagu Kebangsaan bagi sebuah bangsa yang, toh, tidak ada?โ
Soepratman ditangkap dan diinterogasi. Larangan dan tekanan membuat gelombang protes malah bermunculan di sana-sini. Tak ada pilihan lain bagi pemerintah Hindia Belanda selain berkompromi. Soepratman dibebaskan dan Indonesia Raya boleh dinyanyikan, asalkan di ruangan tertutup, untuk menjaga ketertiban dan keamanan.
Tahun 1938.
Soepratman menyiarkan lagu ciptaannya berjudul Matahari Terbit bersama pandu-pandu di Malang. Membuatnya ditangkap lagi oleh Belanda dan dipenjarakan di Kalisosok, Surabaya.
17 Agustus, 1938.
Di hari Wage sesuai hari kelahirannya, Soepratman wafat akibat penyakit paru-paru, di kediaman kakaknya di Jalan Mangga No 21, Surabaya.




Foto: Pinky Brotodiningrat
17 Agustus, 1945.
Tujuh tahun setelahnya, di tanggal yang sama dengan hari wafatnya, Indonesia merdeka. Soepratman tak pernah melihat bangsa yang dicintainya ini berhasil mencapai kehendak tertingginya sebagai negara berdaulat dan Indonesia Raya menjadi lagu pengiring ketika Sang Saka Merah Putih dikibarkan pertama kalinya, sesudah pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno โ Hatta.
Wage Rudolf Soepratman adalah seorang visioner. Dengan kesadaran penuh dan rasa percaya diri yang tinggi, Soepratman jelas-jelas menulis Lagu Kebangsaan di bawah judul Indonesia Raya pada kertas yang dibagikannya di Kongres Pemuda II.
Indonesia Raya diterima sebagai Lagu Kebangsaan jauh sebelum Indonesia ada sebagai negara. Menjadikan Indonesia telah memiliki Lagu Kebangsaan ketika merdeka masih berupa kosa kata impian, harapan, angan dan sesuatu yang beyond imagination.
Soepratman menjadikan musik sebagai kanalnya ketika lepas dari penjajahan adalah suara bangsa yang harus digaungkan.
Keyakinan tentang kemerdekaan tak pernah surut dalam diri Soepratman, seperti dituturkannya,
โNasibkoe soedah begini. Inilah jang disoekai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ichlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja jakin Indonesia Pasti Merdekaโ.