Walikota Pekanbaru tentang Kebakaran Hutan dan Lahan (Wawancara Eksklusif di Vancouver)

Walikota Pekanbaru tentang Kebakaran Hutan dan Lahan (Wawancara Eksklusif di Vancouver)

Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam tepat, saat saya bertatap muka langsung dengan Dr. H. Firdaus S.T., M.T, di lobby sebuah hotel yang berlokasi di kawasan timur Vancouver, British Columbia, Canada. 

Berikut adalah rekaman wawancara eksklusif bersama Walikota Pekanbaru itu yang berlangsung pada hari Jumat, 20 September 2019.

(T): Selamat malam, Pak Firdaus.

(J): Selamat malam.

(T): Jadi kedatangan Pak Firdaus di sini untuk mengikuti konferensi. Bisa diceritakan sedikit mengenai konferensi tersebut, Pak?

(J): Baik. Pertama kami mengucapkan terima kasih kepada Kedutaan Besar Canada untuk Indonesia. Salah satu dari kegiatan Kedutaan itu, khususnya, tentang Indonesia, mengadakan Summit, dengan tema sampah untuk jadi listrik. Kemudian rombongan yang dibawa oleh Kedutaan Canada di Jakarta itu, yang diundang adalah negara-negara Asean. Ada 10 negara Asean. Dari 10 (negara) itu, yang hadir, Indonesia, kami dari Pemerintah, khususnya kota Pekanbaru, ini tentunya ada kaitannya dengan program yang sedang kami galakkan juga, yaitu waste to energy, sebagaimana ini juga menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia dan Pekanbaru (merupakan) salah satu dari kota yang dijadwalkan dalam program ini. Sehingga informasi tentang Pekanbaru didapatkan oleh Kedutaan Canada itu melalui Kementerian Koordinator Maritim dan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Kemudian juga dari pertemuan kami di 3 kota di sini, mulai dari Montreal, Toronto dan terakhir, Vancouver. Jadi delegasi dari Asean ini, Indonesia, kami dari Pemerintahan, kemudian dari Filipina dan Vietnam itu, di sini, kita dipertemukan dengan pengusaha-pengusaha yang bergerak di dalam tekhnologi dan investasi di bidang waste to energy, maupun juga biogas yang diolah dari limbah, baik limbah restoran, limbah industri khususnya industri agro, maupun juga limbah dari domestik, ataupun juga limbah dari pasar, baik dari yang skala kecil, menengah dan besar. Artinya, sekali lagi, kegiatan ini, bagi kami, sangat memberikan inspirasi dan semakin juga kita bergiat untuk menyukseskan program-program, bagaimana kita menyediakan energi, terutama untuk bahan-bahan yang terbarukan. Dan khusus lagi, bagimana kita melihat bahwa sampah yang selama ini, di dalam mindset kita, itu adalah masalah. Tetapi sesungguhnya di dalam sudut pandang yang berbeda, dan hal ini sudah dipraktekkan, terutama oleh perusahaan-perusahaan yang ada di Canada ini, bahwa di dalam sampah itu tidak hanya masalah. Tetapi di samping itu, ada resources, dan juga kekuatan ekonomi yang terkandung di dalamnya. Maka saya selalu sampaikan kepada teman-teman, kita tidak boleh melihat sesuatu hanya dari satu sudut pandang. Selama ini kita melihat sampah di Indonesia itu hanya dalam sudut pandang (bahwa) sampah itu masalah. Sehingga kita berteriak semua dengan sampah. Tapi kalau kita berpikir cerdas, bahwa di dalam sesuatu yang kita anggap itu bermasalah, sesungguhnya itu punya nilai tambah. Juga punya nilai ekonomi. Inilah yang kita kembangkan sekarang ini di Pekanbaru, di Indonesia, bagaimana kita mengubah image, mengubah pola pikir.

(T): Kira-kira akan berhasil, Pak?

(J): Itulah pentingnya edukasi. Karena tidak mungkin mengelola sampah itu hanya tanggung jawab saya saja. Sampah itu tanggung jawab masing-masing individu. Edukasi harus menyeluruh dan menyentuh lapisan masyarakat sampai yang paling bawah.

(T): Tentang kebakaran hutan dan lahan yang sekarang sedang jadi masalah, bagaimana, Pak? 

(J): Kondisi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia ini umumnya 6 propinsi yang sangat rawan. Tiga di Sumatera, tiga di Kalimantan. Di Sumatera itu; Sumatera Selatan, Jambi dan Riau. Nah, kemudian untuk di Kalimantan juga 3; Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Ini adalah daerah-daerah yang banyak kabut. Pada musim kemarau, air tanah turun sehingga lokasi sangat rawan untuk terjadinya kebakaran. Maka ada 3 kemungkinan terjadinya kebakaran lahan dan hutan ini. Pertama, mungkin ada unsur kesengajaan dari masyarakat yang, sudah secara tradisional, membuka lahan untuk pertanian dengan pembakaran. Nah, ini juga ada kaitannya kemarin, di sisi hukum, di Undang-Undang kita disebutkan (bahwa) di bawah 2 hektar, oleh rakyat, boleh dilakukan pembersihannya dengan membakar. Nah, makanya kemarin dikritik oleh pakar hukum. Mestinya tidak ada ruang itu. Karena kalaupun di bawah 2 hektar itu dibolehkan, (maka) pada lahan gambut, (api) akan menjalar di bagian bawahnya ke area yang lebih luas dan tidak akan bisa dikontrol. Yang kedua, ada juga kelalaian dari perusahaan-perusahaan plantation. Apakah itu hutan tanaman industri yang untuk bubur kertas, ataukah perkebunan sawit, ataukah perkebunan kelapa ataupun juga perkebunan karet. Ini yang biasa terjadi. Dan sejak tahun 2015, kondisinya yang paling parah itu di tahun 2015. Sekarang 2019, dibandingkan dengan 2015, skalanya ini belum sampai setengahnya-lah. Namun kondisi ini juga sudah sangat mengganggu. Kalau di tahun 2015, di Pekanbaru sempat tutup airport selama 2 bulan.

(T): Tapi tahun ini didatangi Pak Jokowi, lho, Pak.

(J): Ya. Itu harus Kepala Negara mengunjungi semua. Bukan hanya Riau saja. Nah, hari ini dari 6 propinsi yang rawan terhadap kebakaran dan di antara banyak kota, kota yang mutu udaranya paling tidak baik adalah Pekanbaru. Kota kami. Ini bukan berarti titik api kebakaran (ada) banyak di kota Pekanbaru. Rata-rata tidak ada titik api di kota Pekanbaru. Tetapi asap dikirim oleh angin, oleh alam. Dari bagian selatan Pekanbaru. Ada Sumatera Selatan, ada Jambi, ada Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Kuantan Singingi, yang (semuanya) berada di posisi selatan kota Pekanbaru. Dan posisi elevasi Pekanbaru rendah. (Sehingga) Pekanbaru menjadi timbunan asap. Makanya tingkat partikel debu di udara sangat tinggi. Ini yang merusak kesehatan. Itu saya kira.

(T): Hal ini, barangkali, terjadi hampir setiap tahun, Pak. Tidak ada antisipasi sama sekali?

(J): Tidak tiap tahun. Dari tahun 1990-an sampai 2015, iya. Setiap tahun. Nah, 2015 di awal Pak Jokowi, itu stop. Jadi 2016, 2017, 2018, (selama) 3 tahun bersih. Clear. Tahun ini muncul lagi. Karena pertama, tahun ini musim kemarau memang lebih ekstrim daripada tahun-tahun sebelumnya. Yang kedua, mungkin, penegakkan hukum di tahun-tahun sebelumnya, yang sudah (membuat) jera tadi, mulai longgar lagi.

(T): Kenapa bisa longgar, Pak?

(J): Manusia. Ya khan? Makanya Presiden memberikan instruksi kepada, yang pertama, aparat hukum. Yang kedua, kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dan kepada TNI-Polri. Baik di dalam pencegahan, maupun juga di dalam penegakkan hukum agar tidak terjadi lagi. Itu saya kira.

(T): Sekarang Pak Firdaus seperti sedang menjadi โ€œThe Most Wanted Personโ€ di Indonesia. Dicari-cari banyak orang. Kotanya sedang bermasalah, malah pergi ke luar negeri. Tanggapannya, Pak?

(J): Begini, tadi saya katakan, asap yang ada di Pekanbaru bukan karena kebakaran hutan dan lahan di Pekanbaru. Ya khan? Itu kiriman. Nah, tentunya kami tak bisa berbuat apa-apa. Alam yang membawanya. Namun, untuk dampak terhadap masyarakat yang tertimpa musibah itu, kita sediakan pelayanan.

(T): Sudah ada korban jiwa, lho, Pak.

(J): Korban jiwa itu, ndak ada asap, bisa mati juga orang. Ini mohon maaf, ya. Jadi pemerintah itu belum tentu sebenarnya semuanya seperti itu. Kalau soal meninggal, ISPA โ€“ Infeksi Saluran Pernapasan Atas, di Pekanbaru itu, tidak ada musim asap pun ISPA (terjadi) sepanjang tahun ada. Karena ini khan kita juga di daerah tropis. Dengan pola hidup, gaya hidup dan lingkungan. Tidak hanya karena asap. Jadi ISPA itu tidak hanya terjadi di musim kemarau saja. Ini dari penelitian-penelitian kami juga di pelayanan-pelayanan kesehatan, khususnya,  di Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), ini ternyata ISPA ini terjadi sepanjang tahun. Dari Januari sampai Desember ada. Cuma frekuensinya akan lebih tinggi pada saat seperti ini. Nah, kemudian kita mengambil kebijakan bagaimana anak yang rentan, ibu-ibu hamil. Maka sekolah kita liburkan pada saat kualitas udara masih di ambang batas. Masih di bawah. Artinya kita antisipasi lebih cepat. Tidak kita tunggu di atas ISPU โ€“ Indeks Polusi Udara yang sudah menganggu kesehatan itu di atas 200. Kita sudah liburkan anak-anak pada saat ISPU itu masih di bawah 200. Artinya, kita sudah antisipasi. Ini sudah libur 1 minggu. Kemudian, penampungan. Kita sediakan ada 24 rumah singgah dan 22 Puskesmas yang semuanya buka 24 jam untuk melayani masyarakat dalam keluhan terhadap asap.

(T): Itu khan penanganan setelah terjadinya asap, Pak. Apa antisipasi di masa mendatang sebelum terjadi hal ini? 

(J): Antisipasinya satu. Kita harapkan tidak ada lagi terjadi pembakaran hutan di Indonesia. Ya, khan? Pembersihan lahan untuk usaha tidak harus dengan dibakar. Makanya perintah Pak Presiden, semua, selain Kepala Daerah, ya Gubernur, Bupati, Walikota, kita punya perangkat yang harus sudah mempersiapkan masyarakatnya dengan masyarakat sadar lingkungan. Begitu juga di aparat TNI-Polri. Mereka khan punya struktur juga sampai ke Babinsa โ€“ Kamtibmas ada. Begitu juga tim penanggulangan bencana. Nah ini yang harus kita sinergikan semua. Artinya, pencegahan. Nah, pencegahan itu lebih banyak kepada edukasi. Itu yang dilakukan. Nah, kalau masih terbakar juga, ini ndak akan selesai masalahnya. Persoalan itu akan selesai bila edukasi berhasil dan kesadaran masyarakat kita semakin baik sehingga tidak terjadi lagi pembersihan lahan dengan pola pembakaran. Mau situasinya pada (musim) kemarau atau tidak. Di setiap waktu. Dan pada para pengamat hukum, minta menyarankan juga, tolong pasal yang membolehkan rakyat membakar hutan di bawah 2 hektar ini dihapus. Mestinya 1 inchi pun tidak boleh membersihkan lahan dengan metode pembakaran. Harus tegas begitu. Mulai dari regulasinya dan juga penegakkan hukumnya. Intinya adalah edukasi dan law enforcement. Harus tegas betul.

(T): Jadi edukasi yang paling tepat sasaran, menurut Pak Firdaus, yang bagaimana?

(J): Ya, yang mulai dari bawah. Dari masyarakat bawah. Ya, khan? Semua kita. Semua individu. Mulai dari peduli pada lingkungan. Ya, jangan melakukan, misalnya, pada saat cuaca ekstrim, merokok (lalu) lempar puntung rokok sembarangan. Apalagi disengaja tadi. Nah, yang kedua, peduli api. Kalau ada nampak titik api masih kecil, masing-masing orang jangan tunggu diperintah dulu, jangan menunggu dulu bantuan. Apa yang dia bisa lakukan, lakukan. Jangan biarkan. Api selagi masih kecil, ini masih mudah untuk kita taklukkan. Tapi kalau sudah besar, ini yang membuat kita ini habis segala tenaga, pikiran dan juga duit. Untuk kondisi yang seperti sekarang, itu berapa besar uang yang harus kita keluarkan, untuk kita bikin hujan buatan agar ISPU turun. Itu juga biayanya, ya, khan? Pekanbaru hari ini boleh dikatakan tidak ada titik api, ya, khan? Tapi menurunkan kualitas udara dengan partikel-partikel kasar yang banyak membawa, apa namanya, partikel-partikel yang merusak untuk kesehatan ini bisa diturunkan dengan hujan. Nah, hujan buatan itu duitnya mahal.

(T): Biaya mengikuti konferensi di Canada ini darimana, Pak? 

(J): Anggaran ini, kami cuma SPD saja. Hanya biaya perjalanan saja. Dari APBD.

(T): Ada berapa orang yang ikut, Pak?

(J): Saya bawa 4 Kepala Dinas dan 2 staff. Kemudian saya sendiri. Sembilan orang.

(T): Jadi begitu nanti Pak Firdaus kembali ke Pekanbaru, hal apa yang paling pertama akan dilakukan?

(J): Ya, tentu tugas rutin. Dan kemudian juga persoalan yang menjadi viral. Tapi sebenarnya begini, ya, pemerintah, Walikota, bukan sendiri, ya, khan? Ada Wakil, ada Sekda, ada Kepala Dinas, ya, khan? Jadi kalau semuanya diurus oleh satu orang, khan, ndak mungkin. Kita bekerja dengan sistem. Kita bekerja bukan dengan individual. Bukan person, ya, khan? Kalau kita bekerja, mengelola, memberikan pelayanan dan mengelola pemerintahan hanya terkait dengan 1 figur, wah, kiamat dunia kita. Kita mesti bekerja dengan sistem. Firdaus sebagai Walikota, bisa saja. Tetapi yang fungsi walikota-nya tetap ada di Pekanbaru. Ya, khan? Ada Wakil, ada Sekda, ada Kepala Dinas dan ada TNI yang mengurusi itu semua. Dan dari sini (dari Canada), kita semua, dengan tekhnologi informatika yang canggih ini, komunikasi khan nggak putus kita ke daerah-daerah. Bukan seperti  jaman jahiliyah dulu lagi, ya, khan? Yang kita nggak bisa komunikasi kalau kita sudah meninggalkan tempat. Artinya, me-manage itu tidak harus berada selalu di dalam lokasi kita.

(T): Mengenai edukasi yang tadi disampaikan Pak Firdaus, kira-kira akan berhasil, Pak?

(J): Harus berhasil!

(T): Tidak akan ada asap lagi tahun depan?

(J): Harus begitu! Maka harus semua pihak. Solusi yang terbaik hanya itu. Kesadaran kepada individu, ya, khan? Jangan yang sadar hanya satu saja, yang lain, nggak. Seperti sampah tadi. Mencintai lingkungan. Ini harus kita tanamkan.

(T): Dengan memberikan sanksi juga, Pak, kepada perusahaan-perusahaan?

(J): Ya itu tadi. Edukasi harus kita lakukan. Law enforcement harus ditegaskan. Law-nya sendiri harus lebih tegas lagi. Karena ada kelemahan law tadi, ya. Regulasi ada kelemahannya. Di Undang-Undang tadi seperti yang dikritik. Karena mungkin pada saat eksekutif dan legislatif menyusun Undang-Undang itu, masih mempertimbangkan budaya masyarakat kita bertani di pedesaan dengan pola pembersihan lahan dengan pembakaran. Maka diberi ruang kecil, kurang dari 2 hektar, boleh dengan pembakaran. Saya sependapat dengan ahli hukum itu, mestinya itu nggak boleh. Karena jangankan 2 hektar, satu puntung rokok saja terlempar masuk ke dalam gambut, habis itu sudah. Kalau diamati, pada saat terjadi kebakaran di lahan gambut, itu kita melihat ada semacam bola api terbang. Ini mungkin juga ada partikel-partikel yang kasar, yang pada saat terbakar, ada letupan kemudian dia terlempar. Nah, kalau terlempar di lokasi yang sudah terbakar, ya, nggak masalah. Tapi dia terlempar ke lokasi yang belum terbakar, terbakar lagi. Maka kenapa begitu cepat? Nah, kalau lahan yang terbakar itu di bawahnya tidak gambut, ini mudah memadamkannya. Tapi kalau di lahan gambut, memadamkan susah, kemudian juga terbakarnya sangat mudah. Itu saya kira, yang kita harus pahami karakter-karakter daerah kita.

(T): Akan ada kerjasama dengan propinsi-propinsi tetangga?

(J): Oh, tentu. Sudah pasti, ya, khan? Nggak bisa sendiri. Ya ini mesti bersama-sama. Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Mesti bersinergi. Baik dalam satu propinsi maupun juga dalam area regional. Itu harus.

(T): Sudah hampir seminggu di Canada, apa yang paling membuat Pak Firdaus terkesan?

(J): Hehehe. Masyarakatnya.

(T): Kenapa dengan masyarakatnya, Pak?

(J): Ya, sekali lagi, tidak ada negara yang maju di dunia ini, hanya dengan kekuatan sumber daya alam. Ya, khan? Negara-negara maju bisa terbangun dengan kekuatan sumber daya manusianya. Sumber daya manusia adalah modal yang paling besar. Modal utama untuk kita menjadi negara maju. Untuk membangun kesejahteraan. Bagaimana kita bisa membawa budaya kepada masyarakat. Agar kalau kita mau maju, masyarakat kita harus berani untuk keluar dari zona. Kalau sekarang, zona enak-nya itu, khan, pokoknya di dunia ini yang paling enak itu hidup di Indonesia. Berbuat apa saja, sekehendak hati kita, bisa. Nah, mestinya yang ini, nggak boleh. Kita harus cinta lingkungan. Ya, khan? Dengan mencintai lingkungan, kita akan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Misalnya begini, Jakarta. Di Jakarta, sungai-sungai mati. Bukan hanya di Jakarta. (Juga) kota-kota di Indonesia, airnya hitam. Itu artinya sungainya mati. Nah, kemarin di Toronto, saya berjalan kaki dari kawasan Industri ke Hotel, saya telusuri kanal-kanal, airnya bening. Semua biota ada. Ini artinya lingkungannya sangatlah diperhatikan dan juga penataan kota. Ini kota hampir standar semua. Dari 4 kota, Montreal, Toronto, Ottawa dan Vancouver, tata kotanya hampir sama bentuknya. Space untuk pejalan kaki lebih diutamakan. Nah, sekali lagi, dengan menggunakan angkutan umum yang baik, ini juga membantu lingkungan. Berbeda jauh dengan Indonesia. Bahwa kita, polanya, dipenuhi dengan kendaraan pribadi. Baik dengan roda dua, maupun juga roda empat. Nah, ini adalah pola yang tidak benar. Pertama, ini sangat mahal. Dan mahalnya kenapa? Pembakaran BBM ini mubazir. Kalau kita bisa menyediakan angkutan umum massal, untuk kebutuhan masyarakat kita, kita akan banyak hemat. Pertama, hemat di dalam penggunaan bahan bakar. Kita tidak akan menghabiskan uang kita untuk terbakar percuma. Kedua, udara. Dengan banyaknya kendaraan roda dua dan roda empat di jalanan, karbon akan mencemari udara dan membuat kualitas udara kita sangat tidak baik dan kemudian akan sangat mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat kita dan pada akhirnya akan mempengaruhi kepada produktivitas. Dan tentunya, akhirnya lagi, adalah kesejahteraan. Maka oleh sebab itu, sekali lagi, sumber daya manusia ini menjadi pokok di dalam kita membangun sebuah bangsa. Dan saya katakan tadi dari 4 angkutan kota yang kami kunjungi, relatif untuk angkutan umumnya bagus, tata kotanya baik, kemudian juga aktifitas masyarakat lebih banyak menggunakan angkutan umum. Dan, alhamdulillah, di Jakarta, sejak Pak Jokowi di periode pertama, setelah digagas kurang lebih 35 tahun dan Pak Jokowi-lah yang mengimplementasikannya, kita sudah punya satu jalur MRT untuk kota Jakarta dan kami juga merencanakan di Pekanbaru, khususnya di kota baru-nya, akan dibangun dengan prinsip-prinsip kota modern. Walaupun tahapan  pembangunan yang kami lakukan baru membangun pondasi. Lima tahun, sepuluh tahun, itu bukanlah waktu yang panjang dalam membangun sebuah wilayah. Sebuah kota. Oleh sebab itu, rancangan pembangunannya kita susun dengan pola rancangan kota maju dan juga kami turun seperti ini di sini (Canada), untuk mengambil apa yang baik di sini (Canada), yang kita jumpai di tempat lain, ini juga kita bawa. Dan nanti juga, tidak sungkan-sungkan, apa yang baik ada di kita, bisa kita share di sini (Canada).

(T): Mau maju jadi Riau 1, Pak?

(J): Ya, hehehe, sebenarnya kemarin sudah maju. Hanya Allah saja yang belum kasih. Kalah kemarin.

(T): Mau coba lagi?

(J): Mau coba lagi, begini, karena saya maju bukan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk ambisi pribadi, tapi karena background saya birokrat. Saya birokrat murni. Tigapuluh dua tahun bekerja di Pemerintah. Terakhir, saya (adalah) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Riau. Kemudian saya maju, dipersiapkan oleh para politisi dan juga para tokoh untuk memimpin kemudian, diawali dari Pekanbaru. Bila kompetisi kemarin, saya kalah, ya tentu kita dukung yang menang, sebagai yang mendapat mandat dari masyarakat. Bila prestasinya dalam lima tahun memegang amanah ini bagus, kita support lagi untuk lima tahun ke depan. Ya, khan? Tidak harus berebutan. Tapi kalau bila dia belum bisa menyajikan yang terbaik, Insyaallah, kita akan maju lagi. Ya, khan? Dengan gagasan dan pikiran yang kita punya untuk bekerja lebih baik lagi untuk membangun negeri ini.

(T): Seandainya nanti maju lagi menjadi Riau 1, ide apa yang akan Pak Firdaus tawarkan untuk Riau?(J): Pertama tadi, pembangunan sumber daya manusia (SDM). Indonesia punya peluang untuk menjadi negara maju. Menurut penelitian McKinsey yang dilakukan tahun 2015, Indonesia akan jadi negara maju dan punya peluang jadi negara anggota G-7 di tahun 2030. Padahal pada saat penelitian itu dilakukan, Indonesia baru tercatat sebagai anggota G-20. Nah, McKinsey menegaskan peluang Indonesia menjadi negara anggota G-7 di tahun 2030 itu dengan strategi pembangunan yang harus dilakukan dengan perubahan secara drastis. Sebelumnya dari kita merdeka di tahun 1945, kita terlena dengan kekayaan alam yang diberikan melimpah ruah oleh Tuhan Yang Maha Esa dan kita membangun bangsa kita dengan kekuatan sumber daya alam yang tidak didukung oleh sumber daya manusia. Akhirnya, negeri kita masih โ€œdijajahโ€. Bung Karno, di dalam pemikirannya, sebagai founding father, menyebut sebagai Tri Sakti Bung Karno. Pertama, berdaulat dalam politik. Nah, ini nggak diragukan lagi. Sejak tahun 1945, kemerdekaan Indonesia, kedaulatan Indonesia secara politik ini nggak diragukan lagi. Kedua, kata beliau, berdikari di bidang ekonomi. Artinya berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi. Nah, ini yang menjadi masalah sampai hari ini. Ya, khan? Negeri kita menjadi ladang bagi negara-negara yang kekuatan ekonominya mampu untuk masuk dan kita terlena. Contohnya, misalnya, untuk protein hewani. Peternakan di Indonesia, yang negerinya begitu luas, negerinya subur, 12 bulan cahaya matahari ada, kita tidak bisa memproduksi kebutuhan daging kita 10% dari kebutuhan kita. Kita datangkan dari luar. Terutama dari Australia. Nah, ini khan, apa yang salah? Cara berpikirnya kita yang salah. Ya, khan? Ini ada kepentingan ekonomi. Itu salah satu contoh. Kita punya pertambangan. Mau minyak bumi, mau gas, mau batubara, mau yang lain, 85% dikuasai oleh bangsa asing. Bukan oleh bangsa kita. Jokowi yang berani. Freeport, sebelumnya sampai jaman SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), Freeport itu kita hanya dapat di bawah 10%. Bahkan di bawah 5%. Hari ini Jokowi ambil itu kembali. Dan tidak hanya Freeport, termasuk beberapa tambang-tambang yang strategis itu,   kita menguasai. Kita harus ambil. Nah, ini juga bagaimana kita membangun kekuatan ekonomi. Daya saing. Untuk meningkatkan kekuatan ekonomi tadi, kita mesti mampu meningkatkan daya saing daerah kita, negeri kita. Sekali lagi, daya saing negeri, daya saing bangsa, tidak akan mampu dibangun bila kita tidak akan mampu menyediakan infrastruktur dasar. Ada 4 infrastruktur dasar yang harus disediakan oleh pemerintah. Kami menyebutnya jalan, yang pertama. Jalan ini sarana transportasi darat, laut, udara. Dan juga angkutan umum massal, yang termasuk ke dalam itu. Yang kedua, kebutuhan air bersih. Ini di Indonesia juga, rata-rata, masih di bawah 60% dari populasi. Malaysia saja, 25 tahun yang lalu, sudah 95%. Ya, khan? Kemudian yang ketiga, ketersediaan listrik. Nah, ini juga kita masih minus. Beberapa waktu yang lalu terjadi listrik padam se-pulau Jawa, ya, khan, satu hari satu malam. Kemudian juga yang ke 4, telekomunikasi. Sekali lagi, ini juga yang di jaman Jokowi ini diambil kebijakan membangun tol lintas Sumatera, lintas Kalimantan, lintas Sulawesi, membangun airport, membangun pelabuhan dan juga meningkatkan tranportasi laut untuk barang dan orang dari Indonesia Timur ke Indonesia Barat. Nah, kebijakan-kebijakan ini, oleh masyarakat kita, khususnya para politisi yang berpikir untuk kepentingan sesaat, itu dikritik habis. Ya, khan?  Jokowi dengan kebijakan membangun infrastruktur itu membuat rakyat sengsara. Itu pemikiran yang sangat keliru. Ke Canada ini saya membawa Kepala Dinas Pekerjaan Umum. Coba itu tengok, jumlah kendaraannya berapa banyak, coba tengok jaringan jalan, coba tengok jaringan kereta api, baik untuk penumpang maupun juga untuk barang. Makanya mereka dengan sarana dan prasarana infrastruktur yang baik, maka ekonomi biaya rendah bisa kita raih. Kekuatan ekonomi kita bisa. Daya saing kita bisa. Hari ini, pengangkutan sapi dari Perth, Australia, ke Jakarta, dibandingkan dari NTB (Nusa Tenggara Barat) ke Jakarta, sebelum Pak Jokowi menyediakan kapal, yang disebut dengan Tol Laut, itu lebih mahal 1 kg sapi dari NTB dibandingkan dari Perth. Padahal jarak Perth ke Jakarta itu dibandingkan, itu dua kali jauhnya, tapi harganya lebih murah. Ini kenapa terjadi? Karena kita tidak punya infrastruktur. Itulah yang dibangun oleh Pemerintah Pusat dan itu juga, tentunya, harus bersinergi dengan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Saya kira itu. Jadi artinya, sekali lagi, kunjungan kami ke luar negeri ini tidak hanya sekadar berkaitan dengan waste to energy saja, tetapi kita lebih banyak mengamati juga kemudian daya saing. Bagaimana kita tadi untuk menjadikan ekonomi kita, pertumbuhannya, akselerasi yang tinggi, kemudian dikelola oleh kita sendiri. Kemudian, Bung Karno, yang ketiga itu, berkepribadian dalam kebudayaan. Nah, ini khan, identitas diri. Kita harus bagaimana menjadikan budaya itu sebagai kepribadian kita dan juga menjadi identitas kita. Kita harapkan, masyarakat Indonesia yang sedikit di sini (Canada), harus bisa menonjolkan Indonesia. Oleh sebab itu, Bung Karno mengatakan berkepribadian dalam berkebudayaan. Artinya budaya itu adalah pribadi kita. Budaya itu adalah identitas dari diri kita. Dari bangsa dan negara kita.

Back to Top