Rawon, Jamuan Kuna Pembawa Pesan Damai

Rawon, Jamuan Kuna Pembawa Pesan Damai

Tujuh tahun lalu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Indonesia, diwakili oleh Menteri Mari Elka Pangestu, mencanangkan 30 ikon santapan yang dinilai paling merepresentasikan aset makanan khas Indonesia, hasil kurasi tim ahli kuliner Nusantara.

Rawon adalah salah satunya. Hidangan berkuah hitam pekat, berbahan dasar daging lemusir sapi serta sarat rempah ini dikenal dari Jawa Timur.

Tak diketahui asal-usul nama Rawon ataupun sejarah awal pembuatannya.

Meski demikian, beberapa kitab sastra Jawa Baru abad ke-18 telah membahas mengenai Rawon. Seperti tercantum dalam sebuah kitab Kakawin (wacana puisi yang ditulis dengan bahasa Jawa kuna), ada sebentuk kata yang ditengarai merupakan penyebutan Rawon, yaitu rarawwan (sayur Rawon) dan rarawwan amarěg-marěgi (Rawon teramat mengenyangkan).

Sementara istilah keluwak/kluwek sebagai bumbu penting Rawon, beberapa kali tercatat pada Suluk Tambanglaras Sangkala Serat Centhini. Sebuah ensiklopedi tentang masyarakat Jawa, karya besar Sunan Paku Buwana V dari Kasunanan Surakarta di sekitar tahun 1814 Masehi. Serat tersebut meliputi beraneka ihwal, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno dan sebagainya.

Keluwak/kluwek sendiri berasal dari biji pohon keluwak/kluwek. Keberadaannya menjadikan masakan berwarna hitam pekat dan menimbulkan aroma serta citarasa khas. Sehingga membuat keluwak/kluwek tampil nyata di berbagai kuliner daerah. Di Yogyakarta, misalnya, ada sayur Brongkos. Di Manado, daun dari pohonnya dirajang halus lalu dimasak dalam buluh bambu dengan lemak babi. Di Sulawesi Selatan ada Pallu Kaloa, sejenis sup ikan, mirip dengan Gabus Pucung dari ranah Betawi.

Orang Banjar di Kalimantan menyebut keluwak/kluwek dengan kalawak. Panarassan di Tana Toraja, Picung di Pasundan dan Kepayang dalam bahasa Melayu.

Baca juga:  Bumi Dipijak, Bahasa Indonesia Dijaga

Dari sinilah timbul idiom “mabuk kepayang” sebagai deskripsi munculnya ledakan dopamine dan oxytocin pada orang yang sedang dilanda cinta. Biji keluwak/kluwek memang mengandung asam sianida yang tinggi dan dapat membuat mabuk bila dikonsumsi berlebihan.

Pemilik Foto: Hayu Sasanti

Sekarang ini Rawon mudah dijumpai di mana-mana. Begitu pula petunjuk memasaknya.

Namun andaikan ingin mengetahui rasa Rawon jaman dahulu, barangkali bisa mengacu pada resep yang tertera dalam Serat Wulangan Olah-olah Warna-Warni (semacam catatan atau buku masak berbahasa Jawa), koleksi Istana Mangkunegaran Surakarta, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai teks aslinya dan dicetak tahun 1926:

“Rajangan atau irisan tipis bawang merah 10, rajangan atau irisan tipis bawang putih 1, ketumbar 1 sendok kecil, rajangan atau irisan kunyit 6, terasi 1 sendok kecil, lengkuas 2 iris, ditumbuk hingga lembut lalu digoreng dengan minyak kelapa. Setelah memotong-motong daging, lalu direbus. Jika sudah keluar kaldunya, rebusan daging tadi ditambah bumbu yang sudah digoreng serta diberi asem jawa bakaran 1 mata. Irisan cabai merah 6, keluwak 2, kemiri 1, daun jeruk purut 3 lembar, daun salam 2 lembar, serai secukupnya, lalu dimasak bersama rebusan daging hingga matang”.

Bukan cuma bisa membuat “mabuk kepayang”, sepinggan Rawon mengepul hangat bertabur bawang goreng dan irisan daun bawang, didampingi kerupuk udang, telur asin, kecambah dan sambal bisa menjadi jamuan istimewa pembawa pesan damai.

Caranya?

Silakan melafalkan Rawon dari belakang, seperti bahasa wolak-walik khas kota Malang, Jawa Timur. Maka Rawon akan terbaca “No War”.

Back to Top