Purnama dan Kemuning

Purnama dan Kemuning

Saban melihat bulan purnama, aku teringat Ibu.

Semenjak aku kecil, setiap bulan Purnama muncul, Ibu selalu meminta kami, anak-anaknya, untuk menyaksikan keindahannya.

Selalu? Ya. Selalu.

Setiap bulan.

Tak peduli di manapun kami berada.

Bisa sedang di rumah. Bisa sedang di luar rumah. Bisa sedang dalam kendaraan. Bahkan jika sedang bertamu di kediaman orang lain.

Begitu penting dan seriusnya kehadiran bulan Purnama, membuat Ibu juga harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa kami, anak-anaknya, mematuhi perintahnya untuk benar-benar menatap bulan Purnama.

Tak akan berhenti menyeru bila kami belum dilihat Ibu mengarahkan mata ke langit.

Bagi Ibu, bulan Purnama sungguh memukau.

Senantiasa mempesona.

Kilaunya sempurna, bulatnya utuh, cahayanya berpendar.

Semua itu tak boleh dilewatkan sama sekali.

Ibu bisa tahan mengaguminya bermenit-menit.

Sementara kami hanya memandang sejenak.

Sekadar memenuhi instruksi ibu.

Semata-mata menyenangkannya belaka.

Bulan adalah bulan. Purnama atau tidak. Begitu-begitu saja.

Tak istimewa bagi kami.

Tahun berjalan. Masa berganti.

Beranjak kami remaja, kecintaan Ibu bertambah satu lagi.

Pada Kemuning.

Tanaman tropis yang dapat mencapai tinggi 7 meter. Daunnya seperti daun jeruk, cuma berukuran lebih kecil. Bunganya harum dengan petal 12โ€“18 mm, panjang dan putih.

Bermula kala pohon Kemuning yang ditanam ibu tumbuh subur dan rimbun.

Seluruh kelopak Kemuning merekah dan menghamburkan wanginya ke sudut-sudut rumah.

Image by pisauikan from Pixabay

Ibu mengajak kami ke beranda belakang. Menjumpai Kemuning.

Meminta kami berdiam sejenak, mencium semerbaknya kuat-kuat.

Dan sejak itu, semua jendela harus terbuka lebar-lebar manakala Kemuning berbunga.

Apabila mengamati bulan purnama merupakan peristiwa di malam hari, maka menghayati aroma Kemuning terjadi di pagi hari.

Tahun berjalan. Masa berganti.

Baca juga:  The Macarons Project tentang โ€˜Hold Us Tightโ€™ dan Ketidaksempurnaan sebagai Kekuatan

Kami semua dewasa kini, menjalani cerita sendiri-sendiri.

Namun kecintaan Ibu tetap sama.

Mengagumi Purnama berlama-lama dan menyesap harum Kemuning dalam-dalam.

Tak berubah sedikit pun.

Hingga tiba malam ini. Ada yang berbeda.

Untuk kesekian kali, Purnama datang lagi.

Kami sedang bersama Ibu, tapi kami sedang tak melihat Purnama.

Ibu menghadap Sang Pemilik Jiwa dalam keheningan. Tak sempat menemui Purnama ke 733 dalam hidupnya.

Esok paginya, seluruh mahkota Kemuning bermekaran sempurna.

Maka kepergian Ibu diiringi dua peristiwa yang teramat dicintainya sepanjang hayat.

Purnama dan Kemuning.

Delapan tahun selewat Ibu mangkat.

Aku berdiri di sebuah kota berperadaban modern berjarak 8000 mil dari kota Ibu dulu.

Menengadah, melayangkan pandang, melampaui gemerlap cahaya metropolitan.

Menjangkau sinar bulan.

Bagiku sekarang, bulan tak lagi bulan. Terlebih jika Purnama.

Aku di sini. Meneruskan kebiasaan Ibu.

Mencintai Purnama.

Photo by Alexis Antonio on Unsplash

Back to Top