Tak sedikit cerita bermunculan mengenai batik yang teramat lekat sebagai identitas bangsa.
Seorang teman menuturkan bagaimana ia disapa ramah dengan kalimat Bahasa Indonesia yang lancar oleh seorang warga negara Jerman di tengah hiruk-pikuk Stasiun Kereta Api di Frankfurt, hanya karena ia mengenakan baju batik. Warga negara asli Jerman itu ternyata sempat tinggal di Bandung, Jawa Barat, selama 20 tahun.
Teman lainnya bercerita bahwa seorang perempuan Finlandia, yang ditemuinya di sebuah kedai kue kecil di Helsinki, mengajaknya ngobrol setelah melihat tas batik yang dipakainya. Perempuan itu lalu memberitahunya bahwa ia bahkan pernah belajar membatik di Indonesia di era Presiden Soekarno.
Batik memang kisah dengan rentang yang panjang. Tumbuh dan berkembang seiring perjalanan sejarah.
Ada Batik Kraton, yaitu batik dengan pola tradisional yang lahir dalam lingkungan kraton-kraton di tanah Jawa, seperti dari Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, Pura Pakualaman, Kraton Cirebon dan Kraton Sumenep.
Sebagian besar pola batik kraton mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa. Tata susun ragam hias dan pewarnaannya merupakan paduan antara seni, pandangan hidup, serta tradisi kraton yang melingkupinya. Pembuatan batik kraton memang biasanya dikerjakan oleh putri-putri Istana dan dipandang sebagai suatu kegiatan rohani yang memerlukan pemusatan pikiran, kesabaran juga kebersihan jiwa, dilandasi permohonan petunjuk dari Sang Maha Pencipta.
Pola batik kraton ini antara lain pola Sudarawerti, pola Udan Liris, pola Larang, pola Ceplok, pola Parang, pola Lung-lungan, pola Lereng, pola Buketan, pola Mega Mendung dan pola Modang Cemukiran.
Kerajaan Mataram, di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo mencapai jaman keemasannya dengan menguasai wilayah di seluruh pulau Jawa, sampai ke Palembang dan Jambi di Sumatera, serta Banjarmasin di Kalimantan Selatan. Hal ini berimbas pada motif batik di era tersebut yang menggambarkan kombinasi dengan budaya setempat, sehingga menghasilkan jenis Batik, seperti Batik Indramayu, Batik Garutan, Batik Banyumasan, Batik Tasikmalaya dan Batik Ciamis, dengan pola Patran, pola Balabag dan pola Semen Klewer.
Ketika penggunaan batik merambah ke luar tembok kraton, sekitar tahun 1850, muncul gaya Batik Sudagaran dan Batik Petani. Kedua jenis batik ini berpangkal dari batik kraton yang kemudian meluas secara terpisah dalam gaya lingkungan masing-masing. Jumlah pengrajin meningkat dan pengusaha batik pun bertambah. Di masa ini pula, mulai dikenal canthing cap untuk menggantikan canthing tulis dalam proses pembatikan. Pola yang mengemuka adalah pola Parang Seling Nitik, pola Kawung, pola Alas-alasan, pola Buntal, pola Tluki, pola Guntingan, pola Ganggeng Iwak Etong dan pola Urang Ayu.
Pada awal abad 19, corak batik di Indonesia menyerap unsur budaya yang dibawa para pedagang asing dan bahkan menciptakan Batik Belanda dengan pola-pola dongeng semisal pola Snow White, pola Little Red Riding Hood dan pola Hanzel and Gretel.
Lima tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Presiden Soekarno memprakarsai batik yang menampilkan nilai seni budaya dari semua daerah sebagai jati diri bangsa sekaligus menyuarakan pesan persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, terwujudlah Batik Indonesia, yang kemudian mampu menggugah kreatifitas pengrajin batik dan seniman untuk menghimpun beragam kultur Nusantara ke dalam pola-pola baru, misalnya pola Terang Bulan yang diciptakan Ibu Soed, pencipta lagu anak-anak Indonesia.
Kedudukan batik kian mantap ketika menjelang dasawarsa 70-an, kemeja batik dinyatakan sebagai pakaian resmi di Indonesia oleh Gubernur DKI Jakarta, waktu itu, Ali Sadikin.
Cranbrook Multicultural Festival 2016 with OMNITA Cultural Arts & Media





Adapun proses pembuatan Batik, hingga saat ini, dikenal 3 macam proses baku, yaitu secara Tradisional, Kesikan dan Pesisiran.
Proses Tradisional diterapkan pada batik dengan warna biru dan soga (coklat). Tahapannya: Mbathik (membuat pola pada kain putih/mori dengan menempelkan lilin batik menggunakan canthing tulis), Nembok (menutup bagian-bagian pola yang akan dibiarkan tetap berwarna putih dengan lilin batik), Medel (mencelup mori yang sudah diberi lilin batik ke dalam warna biru), Ngerok dan Nggirah (menghilangkan lilin dari bagian-bagian yang akan diberi warna soga), Mbironi (menutup bagian-bagian yang akan tetap berwarna biru), Nyoga (mencelup mori ke dalam larutan soga) dan Nglorod (menghilangkan lilin batik dengan air mendidih).
Proses Kesikan memiliki urutan yang hampir sama dengan Proses Tradisional. Hanya saja, Nglorod dilakukan 2 kali dan ada tambahan Ngesik. Sehingga tahapannya menjadi Mbathik, Nembok, Medel, Nglorod, Ngesik (menutup bagian pola yang akan dibiarkan tetap berwarna biru serta bagian yang akan tetap berwarna putih), Nyoga dan Nglorod.
Proses Pesisiran berlangsung dengan rangkaian paling banyak. Tahapannya: Mbathik, Nyolet (memberi warna pada bagian-bagian tertentu pola dengan menyapukan larutan zat pewarna), Nutup (menutup bagian yang telah di-colet dengan lilin batik), Ndhasari (mencelup latar pola dengan zat pewarna yang dikehendaki), menutup Dasaran (menutup bagian-bagian latar pola yang sudah diwarnai), Medel, Nglorod (menghilangkan semua lilin yang menempel pada mori ke dalam bak air mendidih untuk menghasilkan kelengan berwarna), Nutup dan Granitan (menutup bagian-bagian yang telah diberi warna dan bagian yang akan dibiarkan tetap putih serta membuat titik-titik putih pada garis-garis di luar pola yang disebut granit dengan lilin batik), Nyoga, diakhiri dengan Nglorod.
Tanggal 2 Oktober 2009, badan dunia UNESCO, secara resmi mengakui Batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak-Benda Warisan Manusia (Representative List of of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam sidang ke-4 Komite Antar Pemerintah (Fourth Sesssion of the Intergovernmental Committee) di Abu Dhabi, setelah sebelumnya di tahun 2003 dan 2005 mengukuhkan Wayang dan Keris sebagai Warisan Budaya Dunia.
Wahyu Tumurun, Sido Luhur, Sido Mukti, Truntum, Babon Angrem, Mimi lan Mintuno, Sido Mulyo dan motif batik lainnya, sejatinya, merupakan prosa kehidupan.
Menggaungkan keselarasan dengan alam, lingkungan sekitar dan Pemilik Semesta secara apik dan komprehensif.
Maka selembar batik bisa menguak banyak cerita.
Tentang tradisi. Tentang seni adiluhung. Tentang seluruh penggarapannya yang bermakna. Tentang sumbangsih. Tentang persembahan. Tentang mewahidkan tiga dimensi esensial hayati: kebenaran, kebaikan serta keindahan.
Gambar oleh Aliko Sunawang dari Pixabay