Pada Sebuah Siang, Pada Sebuah Kedai Ramen

Pada Sebuah Siang, Pada Sebuah Kedai Ramen

“Takut”, ujarnya lugas saat kutanya apa alasannya yang paling utama ketika memutuskan pindah ke sini. Kami memang sudah berteman lama, tapi tak pernah bercakap soal-soal paling pribadi.

“Takut kenapa? Kamu pernah mengalami diskriminasi di Indonesia?”, tanyaku.

Kedai ramen di seberang Vancouver Public Library penuh sesak siang itu. Beruntung kami mendapat tempat duduk di pojok belakang, sehingga bisa berbincang lebih leluasa. Kami sedang menunggu ramen pesanan kami datang. Dua mangkok ramen pedas dengan kuah kaldu ayam dan banyak sayuran di atasnya.

“Tidak. Aku tidak pernah mengalami diskriminasi”, jawabnya. “Tetapi tetap saja, aku merasa takut. Takut sekali. Aku sering melihat berita penggerebekan atau aksi persekusi untuk orang-orang sepertiku. Aku juga harus selalu berpura-pura di depan Ibuku dan keluarga besarku”.

“Kamu tidak pernah jatuh cinta sama sekali pada perempuan?”

“Pernah, seingatku. Waktu SD dan SMP”.

“Lalu sedari kapan kamu merasa bahwa kamu menyukai laki-laki?”.

Aku sedikit was-was menanyakan itu. Khawatir membuatnya tersinggung atau bahkan marah.

“Barangkali sejak SMA. Tiba-tiba saja aku memiliki perasaan berbeda. Timbul getaran aneh dengan beberapa teman laki-lakiku. Mereka jadi terlihat cakep sekali di mataku. Aku bingung. Aku berusaha keras menyangkal. Terus berusaha keras mengenyahkannya”.

“Berhasil?”

Ia menggeleng.

Pelayan menghampiri meja kami. Meletakkan dua mangkok ramen pedas dengan kuah kaldu ayam dan banyak sayuran di atasnya. Asap mengepul. Aromanya menguar kuat. Menggugah selera. Aku mengambil sepasang sumpit kayu berwarna coklat. Meracik ramen dengan menambahkan bawang putih goreng dan bubuk cabe. Mengaduknya sehingga tercampur merata. Aku meliriknya. Ia melakukan hal yang sama persis dengan yang kulakukan. Kami tak segera menyantap ramen itu. Masih terlalu panas.

Cerita yang sempat terputus, berlanjut lagi. Kali ini ia bertutur tentang kepindahannya ke Singapura, selepas lulus SMA. Sebenarnya ia sempat kuliah terlebih dulu di sebuah akademi di kota Bandung, tapi hanya bertahan setahun. Mencoba kuliah lagi di sebuah universitas swasta di kota yang sama, tapi keluar juga. Tak betah. Hingga akhirnya memutuskan menjalani peruntungan dengan berbekal ijin kerja (work permit) di negara tetangga. Di situlah, selain mendapatkan pengalaman kerja, ia menemukan jati dirinya. Merasa nyaman tinggal di luar Indonesia, ia memutuskan terbang lebih jauh. Ke negeri Paman Sam. Menetap di negara bagian California.

Aku menyimak kisahnya sambil mulai melahap ramen yang sungguh lezat itu.

Baca juga:  Kebersihan adalah Kebahagiaan (Mengulik Keseharian Pelaku Hygiene OCD)

Suatu hari, kesempatan membawanya menyinggahi Vancouver. Ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan kota ini dan memantapkan diri untuk tidak kembali lagi ke Amerika.

“Aku merasa tenang dan nyaman di sini. Karenanya aku sekarang membantu teman-temanku yang sepertiku untuk bebas dari ketakutan. Semua orang berhak untuk tentram, bukan? Sudah 10 orang yang kutolong untuk bisa menjalani hidup di sini”, ucapnya sambil menyeruput kuah kaldu ayam pelan-pelan.

“Oya? Kamu menawari mereka pindah ke sini atau mereka yang minta? Bagaimana caranya?”

Aku menunggu penjelasannya. Antusias.

Ia memasukkan sesuap ramen bercampur sawi putih dan kailan ke dalam mulutnya. Mengunyah dan menelannya lalu menjawab, “Ada yang mau setelah kutawari, ada juga yang minta sendiri. Tapi semuanya dengan alasan sama. Takut. Kebetulan aku kenal baik dengan seorang pengacara yang bisa mengurus segala legalisasi ijin yang diperlukan. Gratis. Sekarang mereka sudah memiliki kehidupan yang baik. Tanpa dirundung cemas. Tanpa “membebani” keluarga lebih lama”.

Aku mengangguk-angguk. Menghikmati caranya meraih rasa aman dan mengulurkan tangan bagi teman-temannya. “Terima kasih sudah mempercayaiku”, kataku tersenyum.

“Dan aku baru saja dijadikan salah satu board member dari foundation yang khusus menyediakan perlindungan buat orang-orang semacamku. Aku jadi bisa berbuat lebih banyak!”. Matanya beranjak berbinar. Penuh.

“Ceritaku sudah habis. Giliranmu. What’s new?”, tanyanya menatapku.

“Aku sedang jatuh cinta”, ujarku seraya memainkan ujung rambutku.

“Wow! Siapa lelaki beruntung itu?”

“Dia. Lelaki. Sepertimu”. 

Terima kasih khusus kepada DJ atas ijinnya mengunggah perbincangan ini.

Cover Photo by Nitish Meena on Unsplash

Back to Top