Sapardi Djoko Damono, barangkali, penyair yang terlalu lembut hati. Tak tega ia mengusik kemesraan Hujan Bulan Juni hingga memilih Juli bagi dirinya menuju ke keabadian.
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni | Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu | Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni | Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu | Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni | Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu|
Puisi “Hujan Bulan Juni” di atas, ditulis Sapardi di tahun 1989. Diterbitkan tahun 1994 dalam sebuah buku berjudul sama. Berisi puisi tersebut beserta 101 puisi lainnya yang diciptakan sepanjang tahun 1964-1994. Meledak! Mempengaruhi banyak remaja yang semula tak gemar puisi, berbondong-bondong membelinya. Menginspirasi banyak orang untuk menyukai kata-kata dan mendadak menjelma penyair. Sejak itulah, setiap bulan Juni tiba, semuanya serta merta mengingat hujan, meski hujan jarang datang di bulan itu. Puisi lain dalam buku yang sama, berjudul “Aku Ingin”, bahkan sangat populer digunakan para pria saat melamar kekasihnya, tertera pada undangan perkawinan atau mengiringi pengantin mengucapkan janji pernikahan.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana | Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu | Aku ingin mencintaimu dengan sederhana | Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada|
Buku Hujan Bulan Juni sendiri telah dialihbahasakan ke dalam 4 bahasa; bahasa Jepang, bahasa Inggris, bahasa Arab dan bahasa Mandarin. Bermetamorfosa ke dalam cerita bergambar di tahun 2013, trilogi novel di tahun 2015, ilustrasi di tahun 2016 dan film di tahun 2017.
Lahir di Solo, 20 Maret 1940, Sapardi Djoko Damono mulai senang menulis sejak masih duduk di bangku SMP. Tulisan-tulisannya menggunakan bahasa Jawa, sebab pada jaman tahun 1940-1950 an, guru-guru di sekolah-sekolah di Solo masih mengajar dalam bahasa Jawa. Sapardi menulis dengan bahasa Indonesia, setelah di SMA. Belajar menulis puisi mulai tahun 1957. Ia lebih memilih menulis puisi dibandingkan sastra tulis lainnya, karena Sapardi ingin “bebas berekspresi tanpa belenggu”. Menulis puisi tidak memerlukan urutan keterangan waktu seperti dalam novel, misalnya. Juga “tak perlu masuk akal”.
Menurutnya pula, puisi itu bunyi. Bahasa itu bunyi. Sehingga puisi semata-mata permainan bunyi. Dalam khazanah sastra Jawa, puisi ditulis dalam bentuk tembang, seperti Dandang Gulo dan Serat Kinanti. Sapardi, tentu saja, tak berkeberatan sama sekali sewaktu murid-muridnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia memasukkan nada pada puisi-puisinya. “Itu adalah salah satu cara agar puisi-puisi saya tetap hidup”, ujarnya. Maka terbentuklah berbagai proyek musikalisasi puisi dari beberapa karyanya.
Selain membukukan sekitar 50 judul dan puluhan antologi puisi, di antaranya: Mata Pisau (1974), Sosiologi Sastra – Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Sihir Hujan (1984), Novel Jawa 1950-an – Telaah Fungsi, Isi dan Struktur (1996), Kesusastraan Indonesia Modern – Beberapa Catatan (1999), Politik, Ideologi dan Sastra Hibrida (1999), Mata Jendela (2000) dan sebagainya, Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya sastra dunia ke dalam Bahasa Indonesia, seperti Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea) dari Ernest Hemingway, karya-karya Shakuntala, novel dari John Steinbeck berjudul The Grapes of Wrath dan masih banyak lagi.
Sapardi lulus dari Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada. Sempat mengenyam pendidikan di University of Hawaii di Amerika Serikat lalu memperoleh gelar Doktor di tahun 1989 dari Universitas Indonesia. Tahun 1995, Sapardi dikukuhkan sebagai Guru Besar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Penghargaan dari dalam dan luar negeri diraihnya atas setiap jejak dedikasinya di bidang kesusastraan.
Bagi Sapardi, hujan memang magis. Sejawatnya yang juga sastrawan terkemuka Indonesia, Bakdi Soemanto, pernah iseng menghitung jumlah karya Sapardi yang bertutur mengenai hujan. Hasilnya, ada 36% puisi Sapardi tercipta gara-gara hujan.
“Saya menciptakan puisi berdasarkan pengalaman sehari-hari saja. Hujan, misalnya. Saya melihat hujan itu menggantung di awang-awang. Menunggu saat terbaiknya untuk jatuh ke bumi. Ketika hujan turun, itulah puisi”, katanya.
Meskipun puisi Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin ditulisnya hanya dalam waktu 15 menit, namun ia menolak disebut sebagai pujangga cinta. “Pekerjaan saya menulis puisi, tapi bukan penyair cinta”, tegasnya. Ia selalu mengambil jarak saat akan menulis puisi. “Apabila saya ingin menuangkan perasaan cinta dan akan menulis puisi cinta, saya menenangkan diri dulu, agar puisi cinta saya tidak terasa cengeng. Begitu juga kalau saya ingin menulis puisi yang mengkritik kebijakan Pemerintah, saya meredam marah saya dulu, supaya puisi saya tidak menjadi puisi yang penuh kemarahan”. Aturan yang dibuatnya sendiri itu pernah dilanggarnya sewaktu menulis puisi berjudul Dongeng Marsinah. “Saya menulis dengan rasa marah yang meluap. Akibatnya puisi itu baru selesai setelah 3 tahun!”.
Ia meletakkan kenangannya dengan sangat hati-hati di laci meja dan menguncinya | Memasukkan anak kunci ke saku celana | Sebelum berangkat ke sebuah kota yang sudah sangat lama hapus dari peta yang pernah digambarnya | Pada suatu musim layang-layang | Tak didengarnya lagi | Suara air mulai mendidih | Di laci yang rapat terkunci | Ia telah meletakkan hidupnya | Di antara tanda petik|
Serupa dengan kalimat puisi berjudul “Kenangan” di atas, yang ditulisnya, Sapardi Djoko Damono telah meletakkan hidupnya di keheningan pagi 19 Juli 2020 pada usia 80 tahun. Ia memilih bulan Juli, agaknya karena tak ingin menganggu romantika Hujan Bulan Juni.
Pena ditaruh. Selesai.
Kendati, mungkin, ada kata-kata yang tak sempat diceritakan aksara
kepada lembar-lembar kertas yang menjadikannya kisah.