Menandanginya sebelum pagelaran konser bertajuk Vibrasi Bali: Music for Gamelan and Chamber Ensemble with Gita Asmara and Guests di ruang utama Roundhouse Community Arts & Recreation Centre, di seputaran area Yaletown pada pertengahan bulan Mei kemarin, Pak Michael Tenzer mengisahkan awal “pertemuannya” dengan gamelan Bali.
“Waktu itu tahun 1976. Saya masih berusia 19 tahun. Sedang getol-getolnya ingin tahu dan penasaran dengan beragam musik. Hingga suatu hari saya mendapati beberapa piringan hitam tentang gamelan Bali. Saya mendengarkannya. Seketika saya terpikat”.
Keterpikatan yang sungguh tidak main-main, karena Pak Michael langsung pergi ke Bali setahun berikutnya demi belajar memainkan gamelan Bali. Memahirkan diri dengan banyak guru di Ubud, di Singaraja, di Denpasar, di mana-mana. Begitu diketahuinya ada guru yang bagus, maka akan langsung didatanginya untuk menimba ilmu dan pengalaman. “Saya memang sengaja mencari guru-guru paling baik”, ujarnya dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih.

Pak Michael menyelesaikan kuliahnya di bidang komposisi musik dari Yale University tahun 1978. Meneruskan ke University of California, Berkeley dan meraih gelar doktoral di tahun 1986. Di tengah-tengah masa kuliahnya tersebut, Pak Michael rela pulang-pergi Amerika Serikat – Indonesia, mengasah ketrampilannya membunyikan jegog, ceng-ceng, trompong, reyong dan gong.
Keseriusannya bukan hanya itu. Di tahun keduanya belajar gamelan Bali, Pak Michael memutuskan memiliki satu set gamelan Bali.
“Ada cerita menarik di sini”, tuturnya. “Tahun 1978, saya merasa sudah harus mempunyai gamelan. Saya betul-betul ingin sekali. Saya pergi ke tempat-tempat kerajinan dan pembuatan gamelan untuk memesan seperangkat instrumen. Uang saya tidak cukup. Tapi saya lalu ingat bahwa setahun sebelumnya, ayah mengatakan bahwa saya menerima warisan kecil sejumlah $3000. Saya menulis surat ke New York, meminta ayah mengirimkan uang itu. Komunikasi belum secanggih sekarang. Tidak ada telepon. Bahkan di Denpasar hanya ada 1 Bank saja. Bank milik Pemerintah”.
Berharap-harap cemas, Pak Michael menunggu kabar dari seberang samudera Pasifik.
Penantiannya usai manakala seorang tukang pos bersepeda mengantarkan sebuah nota pemberitahuan.
Uangnya sudah tiba di Bank.
“Besoknya ketika saya pergi ambil uang di Bank, saya baru tahu bahwa 1USD = 1200 Rupiah. Sebelumnya 1USD = 400 Rupiah. Saya menjadi beruntung 3 kali lipat”, katanya sambil tergelak.
Gamelan Bali idamannya pun berada dalam rengkuhannya.
Setelahnya, gamelan Bali itu diboyongnya ke Amerika Serikat. Dibawanya serta ke mana kakinya melangkah. Dipakainya mendirikan grup Sekar Jaya di Berkeley, California, yang masih sukses bertahan sampai kini. Digunakannya untuk mengajar selama sepuluh tahun di Yale University, Connecticut.




Dua buku berjudul Balinese Music dan Gamelan Gong Kebyar: The Art of 20th Century Balinese Music serta komposisi musik, salah satunya berjudul Sinar Jegog, menorehkan cinta antara Pak Michael dan gamelan Bali yang telah terjalin berkelindan*.
“Saya mulai tinggal di Vancouver tahun 1996, sejak diminta mengajar di University of British Columbia. Lama-lama saya berhasil mengumpulkan orang-orang yang tertarik bermain gamelan”, lanjutnya.
Gita Asmara pun lahir tahun 2002. Mewadahi pecinta dan pemain musik gamelan Bali.
Telah 17 tahun terakhir ini Pak Michael, bersama Gita Asmara, meneruskan perjalanan cintanya pada karawitan Bali. Mengadakan konser dan workshops di berbagai tempat dan senantiasa memperoleh sambutan gegap-gempita.
“Gita artinya lagu. Asmara artinya cinta. Love song. Nama yang indah sekaligus tepat, karena musik Bali sudah menjadi bagian dari jiwa saya. Menyatu dengan kehidupan saya. Selamanya”.
www.gitaasmara.ca | Michael Tenzer – Wikipedia
*Berkelindan: erat menjadi satu
Pemilik Foto: Pinky Brotodiningrat