Pelajaran sejarah di sekolah-sekolah selama ini di Indonesia, sebagian besar dan umumnya, menuturkan Kartini sebagai perempuan cerdas yang dipingit dan dilarang bersekolah, menulis surat-surat, kemudian dipaksa menikah, melahirkan lalu tiada. Kiranya, sampai di situ saja ‘perbincangan historis’ tentangnya.
Setelah itu, semua orang akan sibuk memilih baju daerah untuk dikenakan pada perayaan di setiap hari lahirnya.
Sebuah museum di atas area 5210m2, yang didirikan tahun 1975, terletak di kabupaten Jepara, kota kelahiran Kartini, di Jawa Tengah, mencoba untuk mengguratkan tak hanya kisah romantisme Kartini menentang feodalisme dan patriarki, namun juga menjabarkan pergulatan berbagai ide gelisahnya.
Terdapat 3 buah bangunan, masing-masing seluas 590m2, 130m2 dan 190m2.
Museum ini menyimpan berbagai benda peninggalan Kartini dan kakaknya, Sosrokartono.
Beberapa pemandu yang berjaga di pintu masuk akan menemani pengunjung melihat koleksi museum dan menjelaskan beragam hal.


Kartini lahir pada tanggal 21 April di tahun 1879, sebagai anak kelima dan anak perempuan pertama dari sebelas bersaudara putra-putri RM Adipati Ario Sosroningrat, seorang Bupati Jepara, yang dikenal sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Dalam bukunya yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer mengisahkan, dengan hampir sempurna, segala bentuk keresahan Kartini yang hidup pada jaman kaum pria menguasai kepentingan ekonomi, politik, bahkan sosial atas kaum wanita. Kartini pun lalu mempelajari keunggulan dunia Barat, terutama paham liberalisme yang berakar dari Revolusi Perancis. Kartini juga semakin kritis atas penderitaan rakyat pribumi setelah membaca novel Max Havelaar karya Multatuli.
Memasuki museum, semua pembelaannya terhadap perempuan tampak nyata.
Beberapa tulisan Kartini hasil pemikirannya yang bernas dikutip dalam bingkai kayu, dipajang berderet di sela-sela koridor:
“Dan siapakah yang lebih banyak dapat berusaha memajukan kecerdasan budi itu, siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia, ialah wanita, ibu, karena haribaan ibu, itulah manusia, mendapatkan didikannya yang mula-mula sekali.
Gemuruh batinnya juga terungkap dalam ujaran lainnya:
“Kami akan menggoyah-goyahkan gedung feodalisme itu dengan segala tenaga yang ada pada kami. Dan andaikan hanya ada 1 potong batu yang jatuh, kami akan menganggap hidup kami tidak sia-sia.”
Pada ruang tengah museum, terlihat sebuah meja tulis kayu lengkap dengan kursinya. Di sebelahnya terdapat mesin jahit dan sebuah kotak kayu cukup besar dengan ukiran khas Jepara.
Semuanya adalah saksi bisu bagaimana Kartini membunuh waktu pingitannya selama 12 tahun, sejak berusia 12, dengan melakukan pengembaraan intelektualitas hingga lebih dari 7000 mil jauhnya, melalui diskusi lewat surat-menyurat kepada sahabat-sahabatnya, Estelle Zeehaandeelar atau sering disapanya dengan Stella dan Rose Abendanon.
Selain menenangkan gundahnya melalui kata-kata, Kartini juga menjahit, bermusik, membatik dan bahkan melukis.
Sebagian besar lukisan Kartini bertema bunga dan Lotus adalah salah satu bunga favoritnya.
Kartini juga rajin melakukan meditasi. Mungkin tak banyak yang tahu, bahwa Kartini penganut vegetarian. Kartini berpantang daging setelah seorang Tabib beragama Buddha menyembuhkan sakit beratnya. Itu dilakukannya sebagai bentuk penghormatan dan terima kasih juga rasa syukur.
Pada November 1903, Kartini menulis: “Moedertje… My Moedertje, say something to me. I am so utterly, utterly unhapy. Phisically, Spiritually broken. I have no energy. No more”.
Kalimat itu disampaikan Kartini kepada Rose Abendanon ketika ketangguhan keperempuanannya ‘pasrah’ atas keputusan ayahnya. Kartini harus menikah dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki 3 istri. Dan Kartini harus menjadi istri keempat.
Kartini sangat mengagumi, menghormati, mengasihi dan teramat menyayangi ayahnya.
Karenanya, tak ada yang dilakukan Kartini, kecuali menerima.
September 1904, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang, suami Kartini mengirim surat kepada Rose Abendanon:
“Doctor gave Kartini medicine but half an hour later the discomforture increased and shortly afterwards, quietly and calmly whilw lying in my arms and in the presence of the doctor, she passed away”.
Seluruh pertempuran pemikiran Kartini, perenungannya, pemahamannya, kerisauannya tentang rakyat Indonesia, terutama kaum perempuan, dicurahkannya dalam surat-suratnya.
Namun, keputusannya menyetujui permintaan ayahnya menikah dengan Bupati Rembang, tak pernah diberitahukannya pada siapapun. Banyak yang mempertanyakan, mengapa Kartini bersedia menjadi istri keempat di tengah perjuangannya mengangkat derajat perempuan?
Agaknya, itu salah satu cara Kartini dalam mewujudkan cita-citanya.
Sebab setelah menikah, suaminya mengijinkan Kartini membuka sekolah perempuan di pendopo Rembang. Dan itu menjadi sekolah perempuan resmi pertama di tanah Jawa yang dimiliki pribumi untuk perempuan pribumi.
Museum dengan harga tanda masuk 2000 rupiah untuk anak-anak di hari biasa dan 3000 rupiah di hari-hari tertentu serta 3000 rupiah untuk dewasa di hari-hari biasa dan 4000 rupiah untuk hari-hari tertentu ini, memang sarat makna.
Sesarat luapan jiwa Kartini ketika merambah ilmu sampai menebas cakrawala.
Kartini tak punya massa, apalagi uang. Hanya kepekaan dan keprihatinan serta harapan tak berbatas.
Seperti diungkapkan Kartini dengan penuh gelora lewat ujung pena dan selembar kertas: “Aku yang tiada mempelajari sesuatupun, tak tahu sesuatupun, berani-beraninya hendak ceburkan diri ke gelanggang sastra! Tapi bagaimanapun, biarlah kau tertawakan aku, dan aku tahu kau tak berbuat begitu, gagasan ini takkan lepas dari genggamanku. Memang ini pekerjaan rumit, tapi barang siapa tidak berani, dia tak bakal menang. Itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!”.