Jenderal Douglas MacArthur dan Saya

Jenderal Douglas MacArthur dan Saya

“Namamu nama asli? Benar-benar dari orang tua?”. Sampai bosan saya mendengar pertanyaan tentang nama saya. Apalagi jika saya lalu diminta bercerita latar belakang pemberian nama yang dalam bahasa Inggris berarti kelingking. Sementara tubuh fisik saya, barangkali, jauh panggang dari api dengan arti itu.

Jadi begini, sejak kecil saya sudah hidup di “dua dunia”. Bila Ayah mendongeng tentang keperkasaan Adipati Arya Penangsang di atas pelana Gagak Rimang kuda gagahnya dan berhadapan dengan Sutawijaya, maka Ibu bertutur tentang kekalahan telak Napoleon Bonaparte di pertempuran terakhirnya di Waterloo sambil tak lupa menunjukkan letaknya di atlas dunia. Bila Ibu memperdengarkan lagu Blue Danube gubahan komposer Johann Strauss II, maka Ayah mengajarkan tembang dolanan semacam Menthok-Menthok atau Sluku-Sluku Bathok. Bila Ayah mengisahkan percakapan filosofis antara Bima (Werkudara) dan Dewa Ruci, maka Ibu mengenalkan karya sastra klasik semacam Ben Hur atau Ivanhoe.

Demikianlah saya “melanglang buana” sambil tetap menjejakkan kaki di tanah Jawa.

Tepat di hari ulang tahun saya ke tujuh, Ibu menghadiahi saya sebuah buku bersampul kulit berwarna coklat muda. Buku tulis biasa. Sebagian besar masih kosong. Hanya ada satu halaman yang terisi. Tulisan tangan Ibu. Sebentuk puisi yang senantiasa melekat erat di benak saya hingga detik ini. Sebentuk puisi dari seorang ayah kepada anak lelakinya.

Jenderal Douglas MacArthur

Puisi berjudul Doa Jenderal Douglas MacArthur,

Tuhanku,

Bentuklah putraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengakui saat ia lemah

Dan cukup berani untuk menghadapi dirinya sendiri manakala ia takut

Manusia yang bisa bangga dengan dirinya dan tetap tegar dalam kekalahan,

Rendah hati serta tak jumawa dalam kemenangan

Bentuklah putraku menjadi manusia yang kuat dan memahami bahwa mengenalMu dan mengenal dirinya sendiri adalah dasar menjadi manusia berpengetahuan

Tuhanku,

Janganlah Engkau bimbing putraku di atas jalan yang mudah dan nyaman

Tapi bimbinglah ia dengan tempaan kesulitan dan tantangan hidup

Di situ, biarkan ia belajar tegak berdiri di tengah badai

Di situ, biarkan ia belajar bersikap welas asih bagi mereka yang mengalami kejatuhan

Bentuklah putraku menjadi manusia yang berhati bening dengan cita-cita yang sangat tinggi,

Manusia yang sanggup memimpin dirinya sendiri sebelum ia berhasrat memimpin orang lain

Manusia yang merengkuh kegemilangan masa depan

Tanpa melupakan masa sebelumnya

Dan setelah semua itu menjadi miliknya, anugerahkan padanya rasa humor,

Sehingga ia dapat terus bersungguh-sungguh tanpa harus terlalu serius

Berikanlah padanya kesadaran,

Sehingga ia akan mengingat kesederhanaan sebagai bagian dari keagungan sejati

Keterbukaan pikiran sebagai bagian dari kebijaksanaan sejati

Dan menjadikan kelemahannya sekaligus sebagai kekuatannya

Lalu aku, ayahnya, akan berkata lirih dengan percaya diri,

“HIDUPKU TIDAK SIA-SIA”

Buku bersampul kulit berwarna coklat muda itu kemudian menjadi buku pertama saya belajar merangkai kata. Menyusun puisi atau karangan beberapa paragraf. Buku yang juga membuka tabir tentang nama saya.

Sebab setelahnya, kisah hidup Jenderal berbintang lima yang terkenal dengan cangklongnya tersebut termasuk yang paling sering singgah mengantar saya tidur. Ibu memang mengidolakannya.  

Seorang ahli strategi militer yang berperan penting di 3 perang besar awal abad 20: Perang Dunia I, Perang Dunia II dan Perang Korea.
Dan Jenderal andalan Amerika Serikat penerima 17 medali kehormatan itu lahir dari seorang perempuan bernama lengkap Mary Pinkney Hardy MacArthur. Panggilannya?… … … Pinky.

Cover Photo by Angelina Litvin on Unsplash

Back to Top