“Kasihan sekali anak itu, masih kecil tapi harus menanggung malu karena kelainan.”
“Dia sakit apa ya? Kenapa tubuhnya pucat sekali. Awas jangan dekat-dekat, nanti tertular.”
“Orang tuanya berbuat dosa apa ya, anaknya bisa sampai seperti itu?”
Aku terlahir berbeda. Seluruh kulit dan rambutku berwarna putih pucat. Mataku berwarna abu-abu terang. Dunia medis menyebutnya albinisme atau albino. Cibiran dan stigma yang mereka layangkan, merampas kepercayaan diriku. Aku tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain, sangat tertutup, dan sulit bersosialisasi. Aku tak punya teman. Namun, di balik semua itu, aku memiliki ‘kelebihan’ yang tidak diketahui oleh siapa pun. Termasuk kedua orang tuaku.
Aku bisa mengetahui ‘gambaran’ bagaimana seseorang akan menjemput ajalnya. Manusia menguarkan sesuatu seperti kabut tipis berwarna hitam dari dalam tubuhnya. Dari kabut itu, aku menyaksikan kepingan peristiwa yang akan terjadi menjelang akhir hidupnya. Tapi, aku tidak dapat memprediksi waktu pasti kapan kematian itu akan merenggut kehidupan.
Kelebihan ini aku dapatkan ketika usiaku delapan tahun. Aku bermimpi bertemu wanita paruh baya. Seluruh kulit dan rambutnya berwarna putih pucat. Matanya berwarna abu- abu terang. Dia memintaku untuk menutup mata dan menggumamkan sesuatu yang tidak kudengar dengan jelas.
Selepas itu dia mendekatkan bibirnya ke daun pendengaranku, membisikkan kata-kata yang terus terngiang. “Jangan pernah mencampuri takdir orang lain. Atau kau akan lenyap dan kematian mereka akan menghantuimu seumur hidup.” Suaranya begitu dalam dan dingin.
Aku tersentak. Jantungku berpacu sangat cepat. Napasku memburu. Mulai saat itu, hidupku berubah.
Saat usiaku 12 tahun, Ayah mengajak kami untuk pindah ke ibu kota. Aku menyambutnya dengan baik. Berharap semua ‘hal ganjil’ itu akan tertinggal di sini.
Di pelabuhan, ribuan orang memadati antrean masuk ke kapal. Kapal itu dapat menampung hingga 2000 penumpang, namun sepertinya ada lebih dari 3000 orang. Kami bertolak menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Perjalanan memakan waktu 3 hari. Pemandangan yang aku jumpai hanya lautan sejauh mata memandang.
Matahari hampir tiba di puncaknya. Kesiur angin terdengar syahdu. Kubiarkan semilirnya mengacak rambutku. Kusingkap beberapa anak rambut yang menggelitik mata. Aku berdiri di geladak kapal. Hanya ada beberapa orang di sini. Lainnya memilih beristirahat di kamar masing-masing, termasuk orang tuaku.
“Kamu suka laut?” aku terperanjat, tiba-tiba seorang anak laki-laki berdiri di sisi kiriku.
Belum sempat aku menyahut, dia sudah melanjutkan kata-katanya.
“Aku sangat suka laut. Ayahku nahkoda kapal ini. Aku sering diajak berlayar jika sedang libur. Laut adalah sahabatku.” ujarnya dengan mata berbinar. “Kalau kamu sendiri bagaimana? Apakah kamu sering naik kapal?”
“Baru pertama kali.” Aku ingin menjawab lebih panjang lagi, tapi lidahku terkunci, tidak biasa berbasa-basi.
“Wah, kalau begitu nanti akan kuajak kamu jalan-jalan mengelilingi kapal ini! Aku jamin bakal seru!” kini bola matanya semakin membulat.
Anak ini antusias sekali, pikirku.
Sebenarnya aku sangat senang, akhirnya ada yang mau mengajakku mengobrol lebih dulu. Ada satu hal yang mengganjal dan ingin aku tanyakan padanya.
“Kenapa kamu mau mengajakku?”
Seakan mengerti maksudku, anak laki-laki itu menyunggingkan bibirnya. “Karena aku ingin menjadi temanmu. Aku bosan bercengkrama dengan orang yang lebih tua. Kurasa kita seumuran. Kenalkan, aku Noah.” Anak itu mengulurkan tangan kanannya.
“Aku Jena.” Aku balas menjabat tangannya. Dia lah Noah, teman pertamaku.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku, Jena.”
Aku mengernyitkan dahi, menilik kembali pertanyaan mana yang dimaksudnya.
“Kamu suka laut?” dia mengingatkanku lagi.
“Sejauh ini suka. Rasanya damai melihatnya. Aku suka melihat pantulan matahari yang menghias riaknya.”
“Oh, itu namanya sun glitter. Saat senja akan lebih indah lagi. Cahayanya utuh memanjang hingga ke horizon. Kalau kamu amati lebih teliti, sebenarnya sun glitter terdiri dari sangat banyak pantulan matahari yang kecil, namanya sun-glint. Nanti petang, saat sunset, aku akan mengajakmu melihatnya di haluan kapal. Bagaimana?”
Tanpa berpikir panjang lagi, aku mengangguk menimpali ajakannya. Noah tidak hanya humble, dia juga cerdas dan berwawasan luas.
“Sekarang, ayo ikut aku!” Noah menggamit tanganku tanpa ragu, aku mengekor dengan patuh. Kami berkeliling ke setiap sudut kapal. Noah dengan antusias menjelaskan setiap bagian kapal kepadaku. Seperti tour guide saja, pikirku.
“Tempat kita berdiri sekarang namanya geladak utama atau bisa disebut deck yang merupakan lantai kapal. Di bawah kita adalah geladak antara, yang paling bawah bernama geladak dasar. Di atas kita ada geladak sekoci, kapal ini punya 10 sekoci. Kalau bagian belakang kapal ini namanya buritan,
bagian depan disebut haluan. Kedua dinding disamping kapal disebut lambung. Yuk, sekarang kita masuk!”
Kami melewati lorong panjang selebar 1 meter yang di kedua sisinya terdapat kamar-kamar penumpang. Lalu turun melalui tangga di ujung koridor.
“Nah, di sini restorannya. Biasanya di hari pertama perjalanan akan ada welcoming dinner. Kapal ini dilengkapi dengan mini theater juga, lho. Kalau kamu mau, kita bisa menonton film disana. Letaknya 1 lantai di bawah restoran.”
Ruangan yang baru kami masuki sangat luas. Bisa menampung ribuan orang. Saat memasukinya, tidak terlihat bahwa ini adalah kapal, seperti di hotel bintang 5. Terdapat mini stage yang terletak di ujung restoran, tegak lurus dengan pintu masuk. Meja-meja bundar tersusun rapi, dengan 10 kursi yang melingkari setiap mejanya.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang, aku akan mengajakmu ke tempat paling seru di kapal ini! Ayo!”
Noah berlari kecil, tidak sabar menunjukkannya padaku. Aku mengikutinya. Kami naik lagi melalui tangga yang tadi kami lewati, menyusuri lorong panjang berisi kamar penumpang, kembali ke geladak,
menuju ke arah haluan kapal. Noah membimbingku masuk ke sebuah ruangan.
“Halo, Yah!” Noah menyapa seseorang berseragam lengkap.
“Kenalkan ini Jena. Ini Ayahku, nahkoda terbaik sepanjang masa.”
Aku tersenyum menyapa sembari menyalami tangan beliau.
“Hai, Jena. Selamat datang di anjungan kapal. Ini adalah ruang komando untuk memastikan kapal ini melaju dengan baik dan berjalan sesuai jalur. Kalian sudah berkeliling kapal?”
“Tentu saja, Ayah. Aku sudah mengajak Jena ke setiap sudutnya.”
“Wah kau memang bisa diandalkan, Noah! Semoga kamu betah ya, Jena. Selamat menikmati perjalanan.” ujar Ayah Noah.
Malam pun menjelang. Selepas memenuhi janjinya untuk menemaniku melihat sun-glint, kami menghadiri welcoming dinner.
Sesampainya di restoran, hawa dingin menusuk tulangku. Ada apa ini? Kabut hitam menyelimuti seluruh ruangan. Aku ‘melihat’ orang-orang berteriak. Asap melingkupi dan mengaburkan pandangan. Ribuan orang terbakar. Api menjalar ke seluruh bagian kapal, melahap semua benda yang dilewatinya. Asap tebal membumbung tinggi di udara. Tak lama, kapal telah lenyap tertelan lautan.
“Noah, kapal ini akan terbakar! Cepat kita sampaikan pada Ayahmu. Kita harus bergegas!”
Belum sempat Noah menjawab, aku sudah berlari menuju anjungan.
“Kapal ini akan terbakar, Om! Tolong segera evakuasi para penumpang secepatnya! Kalau tidak, ribuan orang tidak akan selamat.”
Ayah Noah terperanjat mendengar pernyataanku.
“Apa maksudmu, Jena? Kamu tahu darimana?” Noah bertanya dengan napas terengah-engah.
“Aku tidak bisa mengatakannya. Sekarang yang harus kita lakukan adalah memberi tahu semua penumpang, meminta mereka segera mengenakan pelampung, bersiap menurunkan sekoci, dan mereka harus keluar dari ruangan secepatnya. Dan sesegera mungkin untuk mengecek seluruh bagian kapal, semoga penyebab kebakarannya masih bisa kita cegah. Aku tidak tahu jam berapa akan terjadi, yang pasti malam ini. Kita harus melakukan pencegahannya sekarang!”
Aku gelagapan, pernyataanku terdengar seperti meracau.
Ayah Noah menaruh tatapan sangsi ke arahku. Begitu pula Noah.
“Percayalah pada Jena, Om. Jena tahu semua itu akan terjadi. Kita memang tidak bisa mengubah takdir hidup manusia, tapi setidaknya kita sudah berusaha mencegah timbulnya lebih banyak korban.”
Ayah Noah tetap bergeming.
“Baiklah, jika tidak ada yang percaya, aku akan mengingatkan mereka sendiri.”
Namun, semuanya terlambat. Alarm kebakaran berbunyi. Sontak semua orang berebut keluar dari ruangan masing-masing. Kepanikan menyelangkupi setiap sudut kapal. Terdengar jeritan bertubi- tubi. Aku lekas berlari menuju kamar, menemui orang tuaku. Mereka sudah tidak ada. Lorong yang semula sepi, kini penuh sesak. Semua penumpang lalu-lalang mencari tempat aman.
Api menjalar cepat, telah membakar sebagian badan kapal. Angin kencang membuat kobaran semakin besar. Bagian geladak terpanggang dari bawah.
Semuanya berlangsung persis seperti apa yang ‘kulihat’.
Para petugas sibuk menurunkan sekoci. Anak-anak menangis. Orang-orang berebut masuk ke sekoci. Beberapa jatuh ke laut karena terdorong yang lain. Petugas mengingatkan untuk mendahulukan wanita dan anak-anak, tapi laki-laki memaksa masuk terlebih dahulu. Manusia berubah menjadi begitu egois jika menyangkut hidup dan mati.
Dalam salah satu sekoci, aku melihat Ibu. Tapi, dimana Ayah? Aku menajamkan penglihatanku, memandang ke segala penjuru. Aku menemukan Ayah berada di tepi geladak, dekat sekoci yang ditumpangi Ibu.
“Ayah!” Aku menghampiri Ayah. Tapi, apa yang terjadi padanya? Wajahnya melepuh. Badannya hitam legam. Aku tidak bisa mengenali sosoknya dari jarak sedekat ini. Aku menengok pada Ibu yang berada di salah satu sekoci. Kondisi Ibu tidak jauh berbeda dengan Ayah.
Aku memperhatikan sekeliling. Ketampakan fisik para penumpang lain pun sama. Hitam legam dengan wajah melepuh. Beberapa masih bisa kukenali wajahnya, sebagian besar lainnya sudah tidak berbentuk. Aku melangkah mundur. Mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan kondisi yang memprihatinkan itu, mereka tetap mencoba menyelamatkan diri. Aku berlari menuju anjungan, mencari Noah. Ayah Noah berdiri memunggungiku. Aku menanyakan dimana Noah
berada. Saat dia membalikkan badannya, keadaannya lebih mengenaskan. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi. Aku berteriak. Namun, suaraku seolah lenyap. Tidak terdengar suara apapun selain dersik angin. Aku mencari kemana suaraku pergi. Lelah mencari, akhirnya aku tak sadarkan diri.
Gelap menyapaku.
“Jena? Kamu tidak apa-apa?” sebuah suara membangunkanku. Suara yang sangat akrab di telinga.
“Ibu?” Aku menghambur ke pelukannya. “Mimpiku sangat mengerikan, Bu. Syukurlah aku masih bisa bertemu dengan Ibu.”
“Kamu bermimpi tentang kecelakaan kapal itu lagi?”
“Bagaimana Ibu tahu?”
“Karena setiap memimpikan insiden itu, kamu selalu mengigau dan sangat gelisah. Seakan ada sesuatu yang mengejarmu. Mimpi itu selalu berulang setiap tahunnya, tepat pada tanggal kecelakaan itu terjadi. Lalu seluruh ingatanmu di hari itu seolah tercerabut dari kotak kenanganmu.”
“Apa maksud Ibu?”
“Kita semua tewas terbakar, Jena. Tidak ada yang selamat dari peristiwa itu. Walaupun telah terjadi sejak 80 tahun lalu, jasad kita tidak pernah ditemukan. Itulah mengapa, kita masih menunggu di kapal karam ini. Masih berharap untuk dievakuasi.”
Aku termangu.
Selama ini, aku bisa menyaksikan gambaran batas akhir hidup orang lain, namun tidak pada diriku sendiri. Dan aku harus menanggung untaian memori nahas itu, seumur hidupku.
Cover Photo by Donald Giannatti on Unsplash