Sebuah media online besar Indonesia mengeluarkan artikel dengan judul “Trik Jitu Diplomasi Kuliner Indonesia di Luar Negeri Menurut Pakar”. Judul yang bombastis dan cukup menggelitik bagi orang-orang yang bergerak di bidang kuliner Indonesia di luar negeri.
Artikel memberitakan sebuah acara daring (online) yang digadang oleh KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) Canberra, Australia.
“Let’s Talk: Global Webinar on Indonesia on the Culinary Map” . Acara yang cukup menarik. Meskipun sangat disayangkan, tokoh-tokoh yang ditampilkan bukan praktisi-praktisi yang memang bergerak di bidang kuliner Indonesia di luar negeri. Satu-satunya narasumber yang bergerak di bidang kuliner di Australia adalah pemilik food truck Lebanon. Sekali lagi narasumber bukanlah praktisi yang bergerak di bidang kuliner Indonesia di luar negeri.
Terkadang mengherankan kenapa yang diangkat sebagai pembicara bukan praktisi-praktisi kuliner Indonesia sendiri yang telah sukses berbisnis makanan Indonesia di luar negeri lebih dari 5 tahun. Artikel tersebut menjadi menggelikan untuk dibaca, karena pakar-pakar tersebut bukanlah orang-orang yang telah sukses dengan usaha makanan Indonesia di luar negeri. Artinya mereka cuma tahu secara teori, bukan prakteknya.
Amerika Serikat, Australia, Belanda, dan Singapura adalah contoh negara-negara yang banyak mempunyai praktisi usaha makanan Indonesia. Tentunya akan lebih afdol kalau kita menggunakan pebisnis-pebinis kuliner Indonesia di negara-negara tersebut sebagai narasumber. Bukan hanya berbicara secara teori tapi prakteknya day by day, bagaimana mereka memperkenalkan makanan Indonesia kepada masyarakat sekitarnya, di negara tempat bisnis mereka berdiri.
Berbicara soal teori, semua orang tentu mempunyai teorinya masing-masing. Namun apakah sudah benar-benar jitu untuk dipraktekkan? Apakah kita memang sebuah bangsa yang, seperti pepatah bilang, cuma tong kosong nyaring bunyinya? Apakah kita cukup puas hanya menjadi bangsa pengikut dan bermental dijajah?
Pernyataan bangsa follower (not a leader) dan bermental dijajah muncul dikarenakan pernyataan dari salah satu pakar mengenai 3 hal yang harus diperhatikan dalam diplomasi kuliner. Pertama, makanan harus memiliki rasa lezat secara universal, artinya rasanya dapat diterima oleh lidah-lidah orang asing. Kemudian, penyajian makanan harus memiliki estetika. Terakhir, makanan itu harus unik.
Pernyataan-pernyataan di atas lalu memunculkan 2 pertanyaan di bawah ini:
1. Apakah kita tidak percaya makanan kita lezat?
2. Sebegitu rendahnyakah kepercayaan diri kita sebagai sebuah bangsa yang “katanya” merdeka namun pada kenyataannya tidak memiliki unsur leadership dan lebih mengarah sebagai follower saja, sehingga kita harus mengubah unsur-unsur rasa serta penyajiannya?
Dapat dimengerti apabila tingkat kepedasan harus disesuaikan, karena tidak semua kultur di dunia bisa tahan dengan rasa pedas. Akan tetapi apabila rasa-rasa yang lain dimodifikasi, maka ke-authentic-an dari sebuah makanan bisa jadi berubah. Alih-alih kita mengedukasi orang asing mengenai makanan Indonesia, kita sendiri malah kehilangan sebuah identitas hanya karena makanan kita diotak-atik sedemikian rupa sehingga melenceng jauh dari rasa yang sebenarnya.
Makanan adalah identitas. Bagian dari budaya sebuah bangsa. Apabila kita sebagai orang Indonesia tidak mempunyai kepercayaan diri untuk menampilkan rasa sebenarnya dengan cara mengurangi rasa pedas atau meyakini makanan kita lezat, berarti sia-sia saja kita berbicara tentang diplomasi kuliner Indonesia. Terlebih mengaitkannya dengan percaya diri.