Didi Kempot: Perayaan Patah Hati

Didi Kempot: Perayaan Patah Hati

Sore hari di kaki Gunung Api Purba Nglanggeran, desa Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, tahun 2013. Sebuah acara digelar. Didi Kempot, penyanyi spesialis lagu-lagu bahasa Jawa, tampil sebagai bintang tamu. Usai bernyanyi, ia berujar beroleh buah pikiran dari hawa sejuk kawasan ekowisata itu. Tak lama, lagu berjudul Banyu Langit menyeruak dan sampai hari ini video klipnya di YouTube sudah disaksikan lebih dari 44 juta orang.  

Lahir di Solo, Jawa Tengah, penyanyi bernama asli Dionisius Prasetyo ini mengadu nasib ke Jakarta dengan berbekal gitar dan baju seadanya. Membuatnya hanya bisa berganti baju setiap 3 atau 4 hari sekali. Menyewa kamar sempit bertarif 15.000 rupiah per bulan, bersama 8 orang temannya. Mengamen dari trotoar ke trotoar dilakoni sepanjang 5 tahun, sejak 1984. Di sinilah nama Kempot lahir. Singkatan dari Kelompok Pengamen Trotoar. 

Kesempatan emas menghampirinya di tahun 1989, ketika sebuah perusahaan rekaman ternama memintanya merekam lagu-lagunya. Album pertamanya mendapat sambutan cukup baik. TVRI bahkan menawarinya membuat video klip untuk ditayangkan di satu-satunya kanal televisi di Indonesia saat itu. Didi Kempot pulang kampung menemui Ibunya. Menyerahkan seluruh honor menyanyinya sebesar 600.000 rupiah. Jumlah yang sangat besar baginya. 

Namanya makin dikenal, manakala lagu Cidro dirilisnya. Lagu yang terinspirasi dari kegagalan asmaranya itu membuatnya diundang ke Belanda tahun 1993 oleh Radio Bangsa Jawa di Amsterdam. Sebuah radio yang menyiarkan program-program acaranya dalam bahasa Belanda, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Tahun 1996, lawatannya berlanjut ke Suriname, negara di pesisir Samudera Atlantik, yang dulunya juga jajahan Belanda. Bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa sehari-hari di Suriname, karena terdapat tak kurang dari 200.000 penduduk keturunan Jawa, yang merupakan generasi keempat dari orang-orang Jawa yang dibawa Belanda pada abad ke-19 untuk bekerja di perkebunan di sana.

Baca juga:  Merawat Tradisi Lewat Tourtière

Tahun 1999, bisa dibilang, menjadi awal kegemilangan karier Didi Kempot. Stasiun Balapan, demikian judul lagunya. Tetap berbahasa Jawa, dan masih mengenai rintihan hati. Mengantar kekasih ke stasiun kereta, saling bertangisan, saling melambaikan tangan dan berakhir dengan kesetiaan yang diingkari. 

Janji lungo mung sedelo, malah tanpo kirim warto, lali opo pancen nglali, yen eling mbok enggal bali.

Janji pergi hanya sebentar, malah (jadinya) tanpa kirim kabar, lupa atau memang sengaja melupakan, kalau ingat lekaslah kembali. 

Lagu yang pilu dan menyayat namun diciptakan dengan irama yang asyik untuk berjoget tersebut, seketika meledak di pasaran. 

View this post on Instagram

06-12-2019 Dilantik jadi brand ambyarsador…Matursuwun

A post shared by Didi Kempot (@didikempot_official) on

Memantapi jalur musik Campursari – musik  campuran antara keroncong, gamelan, dangdut, pop Jawa dan instrumen musik modern – Didi Kempot terus bersinar dan produktif. Menelurkan satu album setiap tahun hingga tahun 2005. Mengesahkan dirinya sebagai ikon baru Campursari, setelah Manthous, legenda musik Campursari sebelumnya. Tembangnya pun sama. Menuturkan cinta yang porak-poranda, kegelisahan rindu, hilangnya mimpi serta harapan yang tercabik. 

Lungamu neng endi, pirang tahun anggonku nggoleki, seprene durung bisa nemoni. Wis tak coba nglaliake jenengmu soko atiku, sak tenane aku ora ngapusi, isih tresno sliramu.

Pergimu ke mana, bertahun-tahun aku mencari, sampai sekarang belum ketemu. Sudah kucoba melupakan namamu dari hatiku, sebenarnyalah aku tidak berbohong, bahwa aku masih mencintaimu.

Jaman beralih. Aliran musik baru bermunculan. Didi Kempot juga terkena imbasnya. Popularitasnya meredup seiring bergantinya selera musik di masyarakat. Meski demikian, namanya tak pernah benar-benar lenyap. Lagu-lagunya masih terdengar di sana-sini.  

Namun, secara tiba-tiba, 2 tahun belakangan, namanya menyembul lagi. Tak tanggung-tanggung, melesat langsung sebagai “bintang baru”. 

Dikatakan “bintang baru” karena menjadi “bintang” di tengah-tengah generasi millennial yang “baru” mengenalnya. Orang-orang menyebutnya “Didi Kempot – Reborn”. 

Di era informasi menyebar amat cepat ini, “Didi Kempot – Reborn” pun semakin berjaya. Padahal tak ada lagu baru. Show-nya dibanjiri generasi yang, barangkali, lahir sewaktu Didi Kempot masih mengamen di jalan. Generasi yang seumuran dengan lagu-lagu ciptaannya. Penggemarnya merambah lebih luas. Bukan hanya berasal dari Jawa, bukan hanya yang bisa bahasa Jawa, bukan hanya kaum marjinal dan proletar, bukan hanya yang berpenampilan seadanya. Melainkan juga dari strata sosial menengah ke atas dan mereka yang berasal dari suku-suku lain di luar Jawa.  

Stasiun televisi, yang kini tak hanya TVRI, berlomba-lomba mewawancarainya, memintanya mengisi acara. Didi Kempot pun hanya tertawa lebar ketika ditanya mengapa sekarang menjadi idola anak-anak muda. “Mereka bilang mereka mendengar lagu-lagu saya dari kakeknya atau ayahnya. Mungkin kenangan itu yang membuat mereka menjadi penggemar saya sekarang”, ujarnya. “Selain itu, patah hati yang menjadi tema besar lagu-lagu saya adalah tema yang dekat dengan realitas sehingga mudah diresapi, sebab sebagian besar orang pernah mengalami patah hati”.

Memang benar. Tak lama setelah kelahirannya kembali, anak-anak muda yang menjadi penggemarnya kini, memunculkan banyak komunitas seperti Kempoters, Sadbois Club, Sadgirls Club. Komunitas yang serius. Mereka bahkan mengadakan Musyawarah Nasional pada tanggal 16 Juni 2019 untuk menobatkan Didi Kempot sebagai “The Godfather of Broken-Hearted” dan memanggilnya dengan sebutan “Lord Didi”. Sebagian lainnya membentuk Paspampot (Pasukan Pengamanan Didi Kempot) yang berjargon Kebal Patah Hati Menjaga Lord Didi Sepenuh Hati. 

Adanya ajaran bahwa laki-laki adalah makhluk kuat dan tidak diijinkan menangis, apalagi di depan publik, membuat panggung konser musik Didi Kempot tak ubahnya sebagai arena pelepasan. Penonton yang berdesakan berbaur bersama, berdendang bersama sekaligus menangis bersama, berjoget bersama. Lagu-lagu Didi Kempot adalah jalan keluar. Memungkinkan terjadinya ‘dialog tekstual’ lewat lirik lagu dengan fenomena sosial. Bait-bait lagunya mengiris-iris perasaan dengan irama musik menghentak riang. Memabukkan. Pendengarnya boleh meneteskan air mata sambil menari gembira. 

Musik mengkomunikasikan rasa. Melalui musiknya, Didi Kempot mengijinkan siapapun melepaskan topeng supaya luka yang sebenarnya terlihat, sebab keterampilan mencintai memang tak selalu sepaket dengan kesiapan menerima kenyataan pahit. Jadi bila berani merayakan jatuh cinta mestinya berani pula merayakan patah hati. 

Yo mung siji dadi panyuwunku, aku pengin ketemu, senajan wektumu mung sedhela, kanggo tombo kangen jroning dodo

Ya hanya satu permohonanku, aku ingin bertemu, meskipun waktumu cuma sebentar, untuk mengobati rindu dalam hatiku

Cover Photo: Kobar Nendrodewo @kobarnendrodewo

Back to Top