Disadari atau tidak, saat ini warga dunia, khususnya Indonesia, tengah memasuki era baru: Era “Edan”. Betapa tidak? Sejak serangan Covid-19, banyak “keedanan” yang terjadi. Bahkan ketidakwarasan (sebutan lain “keedanan”.red) di luar nalar tersebut (merujuk pada kondisi sebelumnya) dilegitimasi melalui sejumlah peraturan resmi pemerintah. Buktinya, masyarakat yang mempertahankan “kewajaran” atau “kewarasan” akan diganjar sanksi, mulai dari teguran, diinapkan di ‘Hotel Prodeo’, hingga didenda ratusan juta rupiah.
Sebaliknya, mereka yang malas dan enggan keluar rumah untuk beraktifitas, alias ‘Kaum Rebahan’ bisa jadi pahlawan. Perubahan yang distimulir Covid-19 membuat gelar pahlawan pada dua kutub yang sangat berbeda. Kutub pertama mampu memberi gelar pahlawan dengan sangat mudah, yaitu cukup dengan “tidak berbuat apa-apa”. Sementara kutub kedua diisi sekelompok Tenaga Kesehatan (Nakes) yang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk melawan sang virus!
Keedanan lainnya adalah ketika mudik-silaturahim-sungkeman (yang dulu merupakan ritual sakral dan wajib) menjadi sesuatu yang dilarang! Lainnya, kerja gotong royong dan kebersamaan secara fisik, menjadi sesuatu yang tabu. Kita dianjurkan untuk menjadi pribadi-pribadi yang soliter, sendiri, mandiri, tunggal alias “apa-apa sendiri”.
Kemesraan suami istri (dalam konotasi normal dan wajar) tidak boleh terlihat di mata publik (baca: Pemerintah Daerah dan Aparat Keamanan). Sepasang suami istri yang hidup harmonis di rumah, kini tidak bisa duduk berdampingan di mobil kesayangan. Mereka dipisahkan jarak. Sang suami jadi supir, sementara istrinya jadi penumpang. Persis ketika menggunakan sarana transportasi daring. Di ruang publik juga setali tiga uang. Ada tanda silang di antara kursi-kursi besi yang mesti dibiarkan hampa. Padahal di rumah, mereka duduk berhimpitan di sofa ruang keluarga bersama anak-anak mereka.

“Edan”, kan? Benar-benar “edan”! Namun, sesungguhnya kehadiran Covid-19 (apabila tidak tertangani dengan baik), suka atau tidak suka, sedang membuat tatanan kehidupan yang sama sekali baru.
Sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu menjadi hal yang wajar dilakukan. Sesuatu yang sebelumnya tidak sopan, menjadi sangat dianjurkan. Semuanya berubah, berevolusi menjadi sebuah kebiasaan baru, yang apabila berlangsung lama, boleh jadi akan dilegitimasi sebagai budaya.
Pertemuan non fisik yang difasilitasi aplikasi daring menjadi keharusan. Jabat tangan harus dihindari. Wifi dan jaringan internet yang andal menjadi kendaraan utama melakukan apapun. Karena semua dapat dilakukan secara online: belanja, belajar, bekerja, bercengkrama, berdiskusi dan banyak hal lainnya. Tamu pernikahan pun dapat hadir secara online. Sehingga nanti, wajah-mu adalah masker-mu.
Lalu yang pasti, sepi dan indah adalah anugerah dari keedanan ini. Pada era “edan”, kesepian adalah warna baru kehidupan. Sementara keindahan alam pun akan semakin terlihat, meski tidak banyak yang berani menikmatinya secara langsung. Manusia akan ke kebun binatang melalui gadget mereka. Bahkan naik gunung, barangkali, akan menggunakan porter ber-gadget. Dimungkinkan, para pendaki hanya perlu standby menatap layar monitor saja ketika sang porter berpeluh deras saat mendaki gunung impian mereka. Maka pendaki gunung tertinggi adalah mereka yang memiliki fasilitas dan jaringan internet paling kuat! “Edan”!
Era “edan” ini adalah era baru yang kemungkinan akan kita hadapi bersama. Saat ini kita tengah memasuki ‘Kawah Candradimuka’-nya. Siapkah kita menghadapinya? Ingat nasihat si Jenius Einstein. Kira-kira begini: “Kita tidak bisa menghadapi persoalan baru dengan cara-cara lama. Diperlukan inovasi”.
Atau mungkin yang ini lebih cocok: “Kecerdasan seseorang terlihat dari kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan”.
Pertanyaannya, siapkah kita memasuki era “Edan”?
Cover Photo by Pop & Zebra on Unsplash