Siang yang terik. Lima puluh murid sekolah dasar, dikawal beberapa orang guru, berlari-larian riang menuju Haida House, replika rumah penduduk asli (first nation) benua Amerika di belakang bangunan utama Museum of Anthropology, University of British Columbia.
Sesampainya di dalam, setelah meletakkan tas dan ransel di tempat yang sudah disediakan, mereka lalu duduk rapi menghadap sebuah layar putih sederhana berhiaskan 2 lembar kain batik. Pak Tris, begitu lelaki bernama lengkap Sutrisno Hartana biasa disapa, telah bersiap menampilkan wayang kulit yang disebut UNESCO, sebagai salah satu seni pertunjukan terindah di dunia.
โHari ini saya hanya akan mengenalkan kepada anak-anak itu tentang wayang kulit. Tidak ada lakon khususโ, kata Pak Tris yang bergelar doktor dari Art History and Visual Studies Department, University of Victoria.
Pak Tris memang diundang sebagai pakar oleh Museum of Anthropology, University of British Columbia, untuk memberikan workshop dalam rangka pembukaan ruang pamer (exhibition room) baru bertajuk Shadows, Strings and Other Things.
Sesuai namanya, ruang pamer tersebut didedikasikan secara eksklusif bagi atraksi seni yang menggunakan boneka. Sebanyak 250 boneka, lama dan baru, dari 15 negara antara lain Brasil, Italia, Cina, Inggris, Prancis, Vietnam serta Indonesia digelar dan dipajang dengan apik.








Selama ribuan tahun boneka telah digunakan sebagai media para pendongeng ataupun cendekiawan di seluruh dunia ketika menyampaikan beragam pesan masyarakat dan ilmu pengetahuan agar lebih mengena pada khalayak segala usia. Epos, kritik sosial dan harapan dimunculkan melalui pementasan boneka.
Lantunan tembang pembuka menggema. Gunungan sudah terpancang di tempatnya. Pak Tris mulai beraksi. Tangan kirinya memegang wayang Petruk sedangkan tangan kanannya memegang wayang Semar. Dialog menggunakan bahasa Inggris, meskipun latar belakang musiknya tetap karawitan Jawa. Suara Pak Tris yang berubah-ubah sesuai karakter wayang kulit menjadi daya tarik tersendiri. Percakapan yang segar dibumbui seloroh, membuat anak-anak terhibur dan terbahak-bahak.
Anak-anak itu kemudian diijinkan untuk memegang wayang kulit, memperhatikan detailnya dan bahkan mencoba memainkannya di balik layar agar memperkaya pengalaman.


Pak Tris juga mempersilakan mereka untuk bertanya apapun tentang wayang kulit.
Dengan antusias, mereka meminta penjelasan dari lelaki asal Yogyakarta itu tentang nama-nama setiap karakter wayang kulit, cerita yang biasa disajikan pada pagelaran wayang kulit, arti dan makna pada Gunungan, serta cara pembuatan wayang kulit.
Alhasil, saat guru mereka bertanya apakah ada yang kelak berminat menjadi puppeteer, hampir seluruhnya mengacungkan jari telunjuknya.
Siang masih terik. Lima puluh murid sekolah dasar, dikawal beberapa orang guru, berhamburan riang keluar dari Haida House. Sibuk berceloteh sesama mereka tentang kesan dan kegembiraan hari itu berjumpa dengan Marc (Semar), Gerry (Gareng), Patrick (Petruk) dan Baggy (Bagong) dari tanah Jawa, Indonesia.
Artikel Terkait: Lawatan Menuju Intisari Kehidupan
Pemilik Foto: Canti Handayani
Mantap Pak Trisno!